Dalam satu penjelasannya Yuval Noah Harari menyebutkan tentang apa yang penting untuk kita ajarkan kepada anak-anak di masa kini; “That nobody knows how the world would look like in 2050 except that it will be very different from today. So the most important things to emphasize in education are things like emotional intelligence and mental stability, because the one thing that they will need for sure is the ability to reinvent themselves repeatedly, Throughout their lives. Through the first time history that we don’t fully know what particular skills to teach young people because we just don’t know in what kind of world they will be living but we do know they will have to reinvent themselves.”
Saat ini kita menyaksikan, betapa pesat terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat secara global. Dunia industri, tenaga kerja, sistem komunikasi, adalah bagian-bagian yang mengalami dampak terbesar dari perubahan karena kemajuan teknologi.
Kelak banyak pekerjaan yang kini ada menghilang beberapa tahun ke depan. Banyak model pekerjaan baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya bermunculan. “Kita tidak begitu tahu, akan seperti apa kehidupan di tahun 2050!” Kata Yufal Noah Harari.
Dua hal yang perlu ditekankan lanjut Yuval Noah Harari, agar anak-anak mampu menemukan diri mereka secara berulang – maksudnya melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi sepanjang hidup; kecerdasan emosional dan kestabilan mental.
Apa yang disebut sebagai kecerdasan merupakan pola yang dibentuk berbagai kondisi dan stimulus dari perkembangan dan kemajuan pikiran atau otak manusia untuk melakukan perbuatan memahami, menyadari, berkreasi, menalar mencari pemecahan atas masalah. Kecerdasan juga didefinisikan sebagai kemampuan memahami dan menyimpulkan informasi. Mempertahankannya sebagai pengetahuan untuk diterapkan menuju perilaku adaptif dalam suatu lingkungan atau konteks tertentu..
Kecerdasan buatan
Istilah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence – AI ) merujuk kepada definisi dari Britannica adalah kemampuan digital komputer atau dikendalikan komputer robot untuk melakukan tugas-tugas yang umumnya terkait dengan makhluk cerdas.
Istilah ini sering diterapkan pada proyek pengembangan sistem yang diidentikkan dengan karakteristik proses intelektual manusia, seperti kemampuan untuk menalar, menemukan makna, menggeneralisasi, atau belajar dari pengalaman masa lalu.
Sejak perkembangan komputer digital pada tahun 1940-an, telah ditunjukkan bahwa komputer dapat diprogram untuk melakukan tugas-tugas yang sangat kompleks—seperti menemukan bukti untuk teorema matematika atau bermain catur —dengan kemampuan luar biasa.
Kecerdasan buatan – AI – kini menjadi perhatian banyak pengamat lintas keilmuan, termasuk di dalamnya pendidikan. Pasalnya perkembangan kecerdasan buatan ini bisa melampaui cara kerja yang umumnya dilakukan manusia secara konvensional, menuju cara kerja berbasis teknologi digital.
Perkembangannya kemudian menarik kepada pertanyaan, apakah kecerdasan buatan ini akan “mengancam” eksistensi pendidikan atau sistem pendidikan? Sementara ini perkembangan kecerdasan buatan tersebut telah banyak mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan, profesi, yang sebelumnya dilakukan oleh manusia (kecerdasan alami).
Namun, pada prinsipnya, kecerdasan buatan— AI — belum mampu menggantikan eksistensi manusia. Meski akan merubah banyak lanskap dunia kerja, AI juga menjadi bagian dari solusi problematika kehidupan manusia. AI akan sangat memengaruhi pikiran manusia melalui teknologi algoritma.
Masa depan pendidikan
Bagaimana halnya masa depan pendidikan dengan berkembangnya kecerdasan yang mereduksi jumlah ketergantungan manusia kepada sesama manusia? Karena jika hanya sekedar mempelajari satu atau lebih dari ilmu pengetahuan, AI dapat memfasilitasinya dengan lebih cepat daripada seorang guru, memiliki tingkat peningkatan optimasi dan akurasi yang lebih baik.
Merujuk kembali kepada pernyataan Yuval Noah Harari di atas, “hal yang paling penting untuk ditekankan dalam pendidikan adalah seperti kecerdasan emosional dan stabilitas mental. Karena satu hal yang pasti mereka butuhkan adalah kemampuan untuk menemukan kembali diri mereka sendiri berulang kali.”
Proses menemukan kembali secara berulang, bisa dilakukan juga oleh AI pada teknologi algoritma. Namun AI tidak mampu mengolah sesuatu yang abstrak, walaupun saat ini industri robot cerdas sudah mampu memproduksi ‘robot manusia’. AI bukan mesin yang mampu bekerja dengan dorongan dari dalam diri dengan pilihan yang bebas. AI mengumpulkan data untuk diolah, dipilah, diidentifikasi, kemudian memutuskan atau menyampaikan informasi lewat sistem pemograman yang sudah dibenamkan.
Sementara manusia dengan kecerdasan alaminya mampu melahirkan ide-ide kreatif yang tidak melalui induksi program secara eksternal, yaitu kreatifitas, yang diproduksi dari hasil imajinasi otak manusia. Hanya kreativitas yang tidak bisa dilakukan oleh AI.
Oleh karenanya masa depan pendidikan ditentukan oleh kemampuan memberi bentuk dan melahirkan penemuan-penemuan baru. Memfasilitasi peserta didik berimajinasi, serta mendidik anak-anak menjadi pribadi yang bermental tangguh dan berkarakter.
Pendidikan harus memberikan stimulus emosi dan mengkalibrasi pemikiran peserta didik dengan kreativitas untuk mampu menemukan dan menemukan kembali. Menghasilkan sesuatu yang baru, yang tetap relevan dengan setiap zaman. Jika tidak, manusia akan seperti robot, dan akhirnya peradaban mengalami kekeringan serta menggeser nilai kemanusiaan. Bahkan mengeliminasi kemanusiaan dari dalam diri manusia itu sendiri.
Sumber : https://retizen.republika.co.id/posts/61591/artificial-intelligence-dan-masa-depan-pendidikan