Pandemi Covid-19 memaksa pengadopsian sistem digital secara masif, dalam segala sektor. Sektor yang memaikan peranan terbesar adalah sektor yang berkaitan dengan pembayaran atau payment gateway. Kita tau, bahwa ada banyak perusahan–perusahan financial technology atau fintech yang berlomba–lomba menghadirkan fitur unggulannya untuk meningkatkan penggunaan sistem cashless. Hal ini-pun juga diikuti oleh beberapa perbankan yang mulai mengadaptasi sitem digital tersebut. Meskipun penggunaannya sangat memudahkan, namun ada bahaya yang mengintai dibalik hal tersebut. Pengamat keamanan siber Pratama Dahlian Persadha mengatakan, meskipun saat ini Indonesia berada di urutan ke 24 dari 160 negara berdasarkan Global Cybersecurity Index, namun hal tersebut tidak menjamin Indonesia siap dengan digitalisasi.
“Ternyata kenaikan peringkat ini tidak berbanding lurus dengan keamanan siber yang ada di Indonesia. Terlalu banyak kebocoran data, dan peretasan, mulai dari Tokopedia, Bukalapak, Bhinneka, Bank Jatim, BPJS Kesehatan, BRI Life, Dukcapil, Kementerian Kesehatan, Kominfo, hampir semuanya,” kata Pratama secara virtual, Selasa (14/6/2022). Pratama menjelaskan, saat ini memang posisi Indonesia memang sangat layak untuk menyelenggarakan sistem digital. Posisi ini bahkan juga naik dibanding tahun 2017 di peringkat 71, dan di tahun 2019 di peringkat 40. Namun adanya peretasan pada sistem keamanan tersebut menjadi tanda tanya besar, seberapa siap infrastruktur Indonesia dalam mendukung digitalisasi ekonomi? “Saat kita tekoneksi ke internet ada beragam acaman disana, apalagi saat pandemi, kita dipaksa menggunakan internet menjadi sarana kegiatan kehidupan sehari–hari. Tapi ancaman ini tidak disadari oleh pemangku kepentingan,” jelas dia. Ia juga merinci, di tahun 2022 ada 3 institusi besar di Indonesia yang mengalami peretasan, diantaranya Bank Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara, dan juga Pertamina. Hal ini sangat disayangkan, karena Badan Siber dan Sandi Negara seharusnya menjadi garda terdepan untuk keamanan siber di tanah air.
“Badan Siber dan Sandi Negara yang harusnya jadi garda terdepan pelindung keamanan siber di Indonesia ternyata juga diretas. Bank Indonesia, juga berkali–kali membuat kebijakan untuk mendigitalkan semua masalah keuangan juga ternyata enggak kuat–kuat banget,” tambahnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengimbau agar para pemangku kepentingan, dan perusahaan–perusahaan penyelenggara sistem keuangan bisa menyadari pentingnya meningkatkan kualitas SDM. Menurutnya, pendidikan siber penting dilakukan untuk memitigasi pola–pola peretasan yang terjadi, dan membuat pertahanan yang kuat. “Orang–orang beli server harga Rp 5 miliar, firewall Rp 2 miliar, bayar lisence Rp 1 miliar bisa, tapi ada perusahaan yang ketika mereka harus meng-upgrade SDM-nya dianggap buang duit. Padahal ini penting agar SDM-nya mengerti bagaimana pola pertahanan, dan melakukan pertahanan dari serangan hacker,” ujar dia. Di sisi lain, ia juga menekankan pentingnya undang–undang perlinguangan data pribadi, yang memastikan seluruh entitas penyelenggara sistem elektronik, bank dan perusahaan besar lain yang menyimpan data agar mengamankan datanya.