BISKOM, Jakarta – Ketika SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) memasuki periode kedua pemerintahannya (2009 – 2014) berbagai turbulensi situasi dan kondisi politik mereduksi posisi tawar politiknya (political bargaining) yang menjadikannya lemah. Pada saat berpasangan Boediono sebagai wakilnya (2009-2014) kasus korupsi Bank Century merebak nama Boediono terseret; diperparah labilnya dukungan parpol koalisi yang dikordinir Golkar; diganggu menguatnya tekanan oposisi PDIP; dan kekeuhnya mimpi SBY untuk taat konstitusi dua periode. SBY terkesan gamang. Mungkin karena dia adalah presiden pertama yang berkonstestasi di dalam sistem pemilu langsung.
Akumulasi puting beliung politik tersebut menjadi beban menghambat manuver SBY. Pemerintahannya oleng. Berulang diterpa tuntutan impeachment. Sikon politik itu mereduksi posisi tawar politik (political bargaining) SBY-Boediono. Berujung miskinnya karya program prestasi sebagai legasi. Berbeda dengan sikon politik periode kedua Jokowi bersama KH. Ma’ruf Amin (2019-2024) yang malah mencuatkan akrobatik kiat politik berlumur aroma perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Ditopang koalisi gemuk delapan parpol dan minus oposisi, justru menjadi pemantik utama mengeruhnya sikon politik. Menimbulkan bara panas bagaikan api nan tak kunjung padam. Ditengarai publik, sepertinya ada yang sengaja merawat sang api supaya tetap membara
Meskipun pemilu mendatang 14 Februari 2024 masih duapuluh bulan lagi, namun elite politik mulai sibuk membangun koalisi. Target besarnya: berlomba menanam investasi untuk presiden baru.
Sebutlah KIB (Koalisi Indonesia Baru) hasil persekutuan tiga ketum parpol (Golkar, PAN dan PPP). Disusul penjajakan koalisi “Semut Merah” yang digagas PK dan PKS. Atas prakarsa Surya Paloh ketum partai Nasdem memunculkan nominasi tiga bakal capres hasil Rakernas (Anies Baswedan, Andhika Perkasa dan Ganjar Pranowo).
Top figur yang tidak ada hubungan struktural dengan Nasdem. Hanya berselancar di atas hasil lembaga survei, dikemas sebagai suara akar rumput berselubung Rakernas. Beberapa pengamat menyebut cara itu sebagai insting kuat seorang “gambler”; jago tebak-tebakan alias pakar untung-untungan.
Yang menarik, PDIP pemegang tiket sahih presidential threshood (PT) 20 persen hasil Pemilu 2019, mengalami kendala menentukan bakal capresnya. Puan Maharani sang “primadona” ibunda elektabilitasnya urutan buncit di semua hasil survei.
Berkebalikan dengan Prabowo Subianto (ketum Gerindra) memiliki tingkat elektabilitas tinggi tapi partainya tidak mencukupi satu tiket. Sementara itu dua sosok figur berkelektabilitas tinggi tidak punya partai pengusung yang jelas (Anies dan Ganjar). Sementara itu akibat ranjau ambang batas itulah yang membuat bos PKB dan PKS terpaksa mondar mandir seperti “semut merah”: mengadu untung. Muhaimin Iskandar (PKB) mendatangi Prabowo dan Akhmad Syaihu (PKS) makan siang di kantor Nasdem.
Mengapa godaan pemilu 2024 begitu tinggi memperebutkan figur bakal capres yang “seksi?” Figur seorang presiden memang adalah penentu tunggal dan tertinggi dalam pemerintahan selanjutnya. Di dalam sistem presidensial, presiden tidak bisa dijatuhkan DPR. Presiden memiliki apa yang disebut executive toolbox, perangkat khusus membuat presiden memiliki banyak kewenangan kekuasaan yang menjadi sumber daya politik. Presiden ibarat pemegang “master key” kunci utama untuk membuka semua kamar.
Kewenangan dan kekuasaan dapat digunakan presiden untuk ditukar dengan dukungan. Katakanlah ada sejumlah bos partai besar sedang kesulitan keuangan dan mereka memiliki kewajiban untuk segera membayar utang kepada negara atau masyarakat, presiden dapat saja membantu mereka dengan menggunakan kebijakan negara untuk menalanginya dan ditukar dengan dukungan politik pada kebijakan presiden (Djayadi Hanan, Kompas.com – 13 Februari 2015).
Presiden juga leluasa menggunakan alat itu untuk berbelanja “tameng” pelindung dari serangan politik pihak oposisi. Namun ada berita buruknya, pada saat yang sama menyuburkan budaya “transaksionalisasi”: politik jual-beli kekuasaan.
Kekuasaan politik itulah yang ditukar untuk mendapat manfaat saling mendukung. Kebijakan presiden dijamin relatif memberi rasa aman, dapat melindungi pimpinan partai politik yang bermasalah, Tapi vulgaritas yang demikian membuka wilayah bebas korupsi.
Executive toolbox adalah perkakas perkasa presiden yang ampuh untuk “memukul” lawan politik bila perlu. Sekaligus menangkis apabila kebijakannya diserang oleh oposisi atau parlemen jalanan. Namun demikian presiden harus mahir berselancar di atas ombak politik yang dinamikanya pasang surut. Diniscayakan pula harus memiliki insting tajam, kaya imajinasi untuk merespons dinamika politik “lari berputar”: tidak jelas siapa yang mengejar siapa.
Bagaimanapun sistem presidensialme menyediakan executive toolbox bagi presiden terpilih untuk mengonsolidasikan dan mengoordinasikan koalisi dan legislatif. Dalam perspektif anggota koalisi, toolbox inilah “barang-barang politik” yang mereka cari. Alat-alat eksekutif ini, baik berupa posisi di kementerian (ministerial portfolio) untuk merealisasikan platform politik, “rampasan perang” (spoils of office) ) berupa akses terhadap proyek negara, misalnya, maupun “distribusi kesejahteraan” (pork barrels), baik yang terlihat maupun tak tercium oleh publik” (Arya Budi, Kompas 18 Juni 2022).
Inilah yang menjelaskan mengapa banyak ketum parpol mendadak berlomba-lomba memasarkan partainya dengan aneka cara. Ada partai besar yang elektabilitas tinggi tapi elektabilitas ketumnya kecil. Ada ketum parpol yang punya suara tinggi, tapi parpolnya tidak cukup sebagai tiket ambang batas pencalonan presiden. Dan ada pula yang sangat percaya diri “membajak” figur top lolos butuh kader partai lain untuk dinominasikan. Sekalipun faktualnya tidak ada hubungan struktural dengan partainya. Ini namanya tindakan nekat: “numpang” bahagia diatas hasil lembaga survei yang bertebaran bagaikan jamur di musim hujan.
Di dalam aneka rupa akrobat politik hari ini, publik mencium aroma konspirasi elite politik, yang berupaya menyelundupkan paket “presiden tiga periode” atau “perpanjangan masa jabatan”. Upaya yang diselubungi akal bulus penafian kedaulatan rakyat itu, merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya pemulusan konspirasi gelap menggunakan polusi koalisi yang hiruk pikuk.
Mengisyaratkan akan adanya sebuah gebrakan dadakan yang berkualifikasi fait acompli, sejenis teori “blitz krieg” alias serangan kilat yang membuka jalan lahirnya kesepakatan perubahan masa jabatan yang kontroversial itu. Mereproduksi proses kecepatan lahirnya UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat: sebuah produk regulasi yang mengandung cacat bawaan, yang bahagian deritanya dipikulkan kepada rakyat kecil. (Hoky)