Vincent Suriadinata, SH., MH., CTA., C.Med.

BISKOM, Jakarta – Selasa, 6 Desember 2022 menjadi hari yang bersejarah bagi dunia hukum Indonesia, khususnya hukum pidana. DPR dan Pemerintah telah menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai Undang-Undang (UU) dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023.

KUHP Baru ini tidak lepas dari kontroversi dan polemik. Publik dihebohkan dengan sejumlah pasal yang dianggap akan mengebiri hak asasi bahkan masuk sampai ke ranah privat. Saya secara khusus akan mencermati dan memberikan pandangan terkait Pasal 100 KUHP.

Pasal 100 ayat (1) KUHP menyatakan:

“Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau

b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.”

Kemudian Pasal 100 ayat (4) KUHP menyatakan:

“Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.”

Dalam KUHP, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 100 tersebut. Beranjak dari rumusan pasal tersebut berarti seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman mati akan melalui masa percobaan (penjara) selama 10 tahun. Apabila terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Namun apabila selama masa percobaan terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Sehingga sebelum ditentukan apakah akan dihukum mati atau penjara seumur hidup, seorang terpidana akan menjalani masa percobaan (penjara) selama 10 tahun.

Menurut pandangan Saya, terpidana menerima hukuman ganda atau double jeopardy. Lalu, apa itu double jeopardy? Double jeopardy menurut Munir Fuady adalah prinsip hukum yang menjamin seorang tersangka pidana oleh hukum dijamin hak fundamentalnya, yang salah satunya adalah hak untuk tidak di proses hukum dua kali atau lebih terhadap satu kasus yang disangkakan kepadanya yang sebelumnya telah pernah diproses secara hukum.

Dalam amandemen ke-5 Konstitusi Amerika Serikat dikatakan, “Nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life and limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation” yang memiliki makna seseorang tidak dapat dihukum dua kali untuk kasus yang sama, tidak dapat juga dipaksa untuk menjadi saksi pidana bagi dirinya sendiri, tidak dapat juga dicabut nyawanya, kebebasannya, atau property miliknya tanpa proses hukum yang seharusnya, tidak dapat juga diambil propertinya untuk kepentingan publik tanpa suatu kompensasi yang adil.

Jika terpidana telah selesai menjalani masa percobaan selama 10 tahun dan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Artinya, seseorang selain dijatuhi hukuman mati juga telah menjalani hukuman penjara selama 10 tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 14 ayat (7) The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang berbunyi, “No one shall be liable to be tried or punished again for an offense for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country.” Pasal tersebut memiliki arti tidak seorangpun dapat diproses hukum dua kali atau dihukum kembali atas tuduhan yang telah membuatnya dihukum atau dibebaskan sesuai hukum dan prosedur pidana di masing-masing negara.

Selain menerima hukuman ganda atau double jeopardy, ketentuan Pasal 100 ayat (4) KUHP juga patut diduga membuka ruang terjadinya praktek KKN dan kesewenang-wenangan. Mengapa demikian? Seseorang yang nasib, hidup dan matinya berada di tangan orang lain (dalam hal ini Presiden dan Mahkamah Agung) tentu akan berupaya untuk melakukan hal apapun juga agar bisa terbebas dari hukuman mati. Lantas, apa yang menjadi indikator menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji sehingga hukuman mati bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup? Ini menjadi sangat subyektif, tergantung dari siapa dan sisi mana melihat hal ini.

Mencermati potensi terjadinya double jeopardy dan penyalahgunaan wewenang untuk dapat memberikan penilaian apakah seorang terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, menurut hemat Saya ketentuan ini perlu ditinjau kembali. Saya berpendapat KUHP yang baru saja disetujui ini membawa semangat dekolonisasi dan pembaruan, namun jangan sampai semangat tersebut menimbulkan kesewenang-wenangan dan mengebiri hak asasi manusia.

Penulis: Vincent Suriadinata, SH., MH., CTA., C.Med. (Advokat di Mustika Raja Law Office Jakarta)