Aktivitas pertambangan Galian C di Kota Bitung selalu berjalan mulus, sekalipun ada yang melakukan-nya tidak sesuai aturan, yaitu tidak pada titik koordinat yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah, itu karena ulah dari “Pengusaha Nakal” atau istilah lain dari Penulis adalah “Pengusaha Spayol” (Pengusaha Separuh Nyolong).

Akibatnya, dampak yang akan ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Galian C dikemudian hari, sangatlah berakibat fatal bagi lingkungan dan juga manusia serta mahluk hidup selanjutnya.

Kita bisa saja berfikir, pengerukan hasil tanah dan pasir di dataran tinggi atau gunung adalah baik untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat dan keberlangsungan pembangunan infrastruktur daerah tersebut. Tapi, alangkah baiknya marilah melihat zona mana yang layak dan pas untuk dilakukan-nya aktivitas pertambangan Galian C.

Dan yang paling penting dari aktivitas pertambangan Galian C ini, harus sesuai dengan aturan yang merujuk pada Undang-Undang dan juga Peraturan Pemerintah.

Banyak Pengusaha Nakal Yang Tidak Taat Aturan

Namun tidak demikian, penulis justru sudah banyak mendengar berapa nama para pengusaha nakal yang sering malukan pertambangan Galian C bukan pada zona atau lokasi pertambangan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Alih-alih merasa bersalah, para pengusaha nakal ini justru terlihat gaga berani dan bangga, karena mungkin sudah memberikan koordinasi (suap), kepada para pengontrol sosial bahkan diduga sampai kepada aparat penegak hukum. Sehingga para pengusaha nakal merasa sudah mendapatkan perlindungan atas tindakan usaha yang penulis sebut sebagai “Spanyol” (Separuh Nyolong).

Meskipun para pengusaha nakal ini sudah berlabel Spanyol, akan tetapi mereka tetap berdali memiliki Izin pertambangan yang legal standing-nya jelas. Sampai-sampai, ada juga pengusaha nakal yang mengaku sudah memiliki badan usaha berupa CV di bidang pertambangan Galian C. Namun demikian, penulis tetap saja tidak percaya sepenuhnya meskipun telah memiliki badan usaha CV, kalau masih memberikan koordinasi (Sogok) kepada para pengontrol sosial dengam alasan saling berbagi rezeki.

Dari beberapa kali kejadian yang penulis dengar dan saksikan masalah pemberian koordinasi yang tidak merata, maka itu akan menjadi masalah dikalangan pengontrol sosial. Bahkan, beberapa waktu lalu, ada kejadian police line terhadap kapal tongkang bermuatan material Galian C berupa Pasir, dan Kerikil yang di lakukan oleh pihak Aparat Penegak Hukum (APH). Tapi aneh bin ajaib, sehari kemudian garis police line itu kembali di lepas dengan alasan pelaku usaha tersebut memiliki Izin pertembangan, namun ketika penulis mulai mencoba menelusuri apa yang sedang terjadi. Eh, penulis malah mendapat telfon dari seorang teman, yang mana mau memberikan titipan koordinasi ke penulis dengan nilai Rp 150.000.

Akan tetapi, dengan idealisme penulis sebagai pengontrol sosial yang perihatin terhadap lingkungan demi keberlangsungan manusia baru di bumi pertiwi ini, penulis menolak dan bahkan lebih memili memberitakan persoalan Galian C yang diduga kuat ada kong kaling kong tersebut.

Atas tindakan yang dipilih penulis, lantas penulis sering mendengar kabar angin, dimana ada sekelompok pengontrol sosial yang mulai risi dengan keputusan penulis. Tapi apa yang sudah di lakukan penulis adalah bentuk menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalis (KEJ), karena penulis adalah merupakan seorang Jurnalis yang punya pendirian teguh.

Atas usaha pertambangan Galian C ini penulis merasa, para pengusaha hanya merusak dengan cara perut bumi dikeruk dan dijual kepada para pebisnis. Hasilnya bukan untuk rakyat, tetapi untuk memperkaya dirinya sendiri dan golongannya.

Galian C Hanya Menambah Kerusakan Lingkungan

Galian C memang adalah bahan material dasar yang sangat penting untuk mendukung pembangunan fisik di setiap wilayah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia, khjsunya di Kota Bitung. Namun, tingkat kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini lambat laun akant mengakibatkan beberapa permasalahan kerusakan lingkungan hidup, di mana belum adanya ketaatan akan praktek-praktek pengelolaan yang bijak dan kurangnya tindakan rehabilitasi pascapenambangan.

Kerusakan lingkungan karena penambangan dan pengerukan bahan Galian C sebagian besar diakibatkan dari kurangnya mempertimbangkan masalah lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perlakuan perbaikan pascapenambangan. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan juga oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi penambangan atau dampak kumulatif dari operasi kecil yang dilakukan secara terus menurus.

Kerusakan lingkungan akibat penambangan Galian C di beberapa lokasi yang ada Kota Bitung saat ini memang belum terlalu dirasakan masyarakat. Namun, ada baiknya beberapa penambang Galian C yang menyalahi prosedur harus diatur terlebih dulu perencanaan-nya, serta izin dari Pemerintah Daerah setempat harus lebih diperjelas dan ketat. Biar kegiatan tersebut tidak merusak bentang alam dan menyisakan tebing curam, yang selain mengganggu estetika sungai juga membahayakan lingkungan dan warga masyarakat setempat.

Penambangan material Galian C, yakni semua bahan yang termasuk sirtukil, selama ini dianggap bukanlah usaha tambang bergengsi seperti halnya tambang minyak, gas bumi, batubara, emas atau tembaga (galian golongan A dan B). Dimana Tambang galian A dan B ditetapkan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sedangkan penambangan bahan Galian C di daerah.

Penambangan Galian C memang kerap dianggap tambang kecil dan kurang dipandang. Padahal tambang ini hampir terdapat di setiap daerah di seluruh Indonesia, dan sebagian besar daerah yang terdapat tambang Galian C ini relatif mengalami kerusakan lingkungan ekologis yang cukup signifikan.

Pelaku usaha Galian C meskipun sudah memiliki Izin pertambangan namun tidak menaati aturan kerja, tetap saja dikategorikan sebagai pelanggaran.

Pedoman Izin Usaha Pertambangan Batuan

Kegiatan pertambangan diatur dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih merinci pelaksanaan dari Undang-undang ini diturunkan kembali dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satunya adalah PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan PP ini komoditas pertambangan dikelompokkan dalam 5 golongan, yaitu:

Mineral radioaktif, antara lain: radium, thorium, uranium

Mineral logam, antara lain: emas, tembaga

Mineral bukan logam, antara lain: intan, bentonit

Batuan, antara lain: andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, pasir urug

Batubara, antara lain: batuan aspal, batubara, gambut

Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan komoditas batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama pentingnya terutama dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan infrastruktur, antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedung perkantoran.

Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No 4 Tahun 2009, menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi batuan.

Untuk memberikan gambaran tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan, berikut akan diuraikan dalam artikel ini.

Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan

Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan PP No 23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

Pembagian kewenangan Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota adalah:

Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai

Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil

Bupati/Walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil

IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut Menteri), Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan usaha, koperasi, dan perseorangan. IUP diberikan melalui 2 tahapan, yaitu: Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP)

I. Pemberian WIUP Batuan

Badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah untuk mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya

Sebelum memberikan WIUP, Menteri harus mendapat rekomendasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota dan oleh Gubernur harus mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota

Permohonan WIUP yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP

Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dalam paling lama 10 hari kerja setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP

Keputusan menerima disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Keputusan menolak harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan.

II. Pemberian IUP Batuan

IUP terdiri atas: IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi

Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: administratif, teknis, lingkungan dan finansial

II.a Pemberian IUP Eksplorasi Batuan

IUP Eksplorasi diberikan oleh: a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai b. Gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4-12 mil dari garis pantai c. Bupati/Walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai

IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan

Menteri atau Guberrnur menyampaikan penerbitan peta WIUP batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi. Gubernur atau Bupati/Walikota memberikan rekomendasi paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral batuan

Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat dalam waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dan wajib memenuhi persyaratan

Bila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam waktu 5 hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau pemerintah daerah dan WIUP menjadi wilayah terbuka

II.b Pemberian IUP Operasi Produksi Batuan

IUP Operasi Produksi diberikan oleh: a. Bupati/Walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai b. Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota c. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat

IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi yang memenuhi persyaratan dimana pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi

Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk menunjang usaha pertambangannya

Dalam jangka waktu 6 bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah pada WIUP

Bila pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP Operasi Produksi memperoleh keutamaan mengusahakannya dengan membentuk badan usaha baru

Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum berakhirnya IUP

Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan 2 kali dan harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi dan menyampaikan keberadaan potensi dan cadangan mineral batuan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota

Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dapat menolak permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik

Ketentuan pidana pelanggaran ketentuan dalam UU No 4 Tahun 2009:

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat-syarat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Setiap orang yang mengeluarkan IUP yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP atas pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, atau pencabutan IUP

Selain itu juga, para pengusaha nakal yang tidak mau ikut aturan Per Undang-undangan maka pelaku akan dikenakan pidana yaitu Pasal 98 Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3 miliar dan paling banyak Rp.10 miliar.

Kesimpulan

Atas apa yang sudah dijelaskan Penulis di atas, kiranya bisa menyadarkan para pelaku usaha di bidang pertambangan Galian C. Dan
Penulis berharap, para pelaku usaha pertambangan Galian C yang ada di Sulawesi Utara, khusunya di Kota Bitung agar bisa lebih taat aturan main sesuai Undang-Undang juga Peraturan Pemerintah, sehingga kedepannya dari dampak lingkungan juga mahluk lainnya tidak ada yang di rugikan.

Penulis : Zulkifli Liputo : Pemimpin Redaksi Babesulut.com / Redaktur Pelaksana Media Guetilang.com / Redaktur Pelaksana Media Biskom.web.id