BISKOM, Jakarta || Dua dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr. DWI SENO WIJANARKO, S.H.,M.H.,CPCLE.,CPA.CPM dan Dr. NOVIRISKA, SH.,M.HUM hadir sebagai Ahli dalam Agenda Pembuktian di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta di Jl. Raya Penggilingan, RT.10/RW.4, Penggilingan, Kec. Cakung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pada Selasa, 13/6/2023.

Dosen yang dihadirkan oleh Badan Pembinaan Hukum Markas Besar Tentara Nasional Indonesia berdasarkan surat Tugas dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya No. 0440/VI/2023/FH-UBJ tertanggal 9 Juni 2023 pada Substansinya di mintai pendapat guna terang nya suatu Perkara atas Perkara yang sedang dihadapi oleh LETKOL M yang diduga melakukan Tindak Pidana Pasal 378 KUHP jo Pasal 372 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan Nomor : Sdak/XI/2022 oleh Oditur Tinggi Militer tertanggal 30 November 2022.

Dr.Dwi Seno Wijanarko, SH.,M.H.,CPCLE.,CPA.,CPM. Dosen dengan Jabatan Fungsional / Akademik “Assistant Professor” (Lektor 300) selaku Ahli Pidana Berpendapat bahwa seseorang yang didakwa dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP harus di uji penerapan dan batasan batasan pasalnya. unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP : Unsur orang yang melakukan (plegen) yaitu Terdakwa sebagai pelaku (pleger) itu sendiri.

Unsur orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan perbuatan, artinya Dalam ilmu hukum pidana, biasanya orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) tersebut sebagai pelaku yang berada di belakang layar atau pelaku tidak langsung (manus domina, onmiddelijke dader, intellectueele dader).

Orang yang menyuruh melakukan inilah yang membuat sehingga orang lain melakukan delik dan orang yang disuruh inilah yang melakukan delik, yang biasa juga disebut pelaku langsung atau pelaku materiil (manus ministra, middelijke dader, materiele dader), sementara Unsur orang yang turut melakukan (medeplegen) yaitu mereka yang bersama-sama orang lain melakukan suatu tindakan.

Dalam bentuk ini jelas bahwa subyeknya paling sedikit dua orang.
Lebih Lanjut Dr. Dwi Seno berpendapat seseorang yang didakwa turut serta melakukan Perbuatan harus terang dan jelas peran nya, meansrea/sikap batin dan actusreanya.

Dalam penyertaan yang berbentuk turut serta melakukan, maka kerjasama antara mereka yang melakukan (pleger) dan mereka yang turut serta melakukan (medepleger) mutlak adanya. Dengan kata lain, hanya dengan adanya kerjasama itu delik dapat diwujudkan atau tanpa kerjasama itu delik tidak akan terjadi dan selain itu, kerjasama yang erat saja belum cukup untuk dapat memidana peserta delik.

Kerjasama tersebut harus lahir dari kesadaran atau pengetahuannya (willen en wettens). Dengan kata lain, kerjasama dalam penyertaan harus dilakukan dengan kesengajaan (opzettelijke). Contoh kasus : Seorang pengemudi taksi yang mengantar penumpangnya ke sebuah mini market, lalu penumpang tersebut tanpa sepengetahuan pengemudi taksi ternyata merampok kasir mini market itu, dan melarikan diri dengan menumpang taksi yang mengantarnya itu, tidak dapat dipandang adanya kesengajaan bekerjasama melakukan pencurian dengan pemberatan Secara lahiriah memang terlihat ada kerjasama diantara mereka, tetapi dilihat dari segi bathinnya si pengemudi taksi hal itu bukan karena kesadaran atau pengetahuannya (willen en wettens).

Bukan suatu hal yang disengaja oleh pengemudi taksi, maka tidak ada kesalahan baginya (zonder schuld).Inilah yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam mencermati posisi dan substansi permasalahan hukum, karena pada sejatinya mereka dihadirkan sebagai terdakwa untuk diadili bukan untuk di hukum. Diadili dimaksud untuk menguji kebenaran materil dan apakah telah ada kesalahan bagi diri terdakwa.

Berdasarkan Teori Kesalahan dan ASAS GEEN STRAF ZONDER SCHULD adalah TIDAK ADA PIDANA TANPA KESALAHAN’’ ARTINYA JIKA PADA SEORANG PEMBUAT TINDAK PIDANA TIDAK DITEMUKAN ADANYA KESALAHAN MAKA TIDAK DAPAT MENJATUHKAN PIDANA TERHADAPNYA kesalahan merupakan syarat untuk memidanakan seseorang artinya untuk menerapkan seseorang telah melakukan tindak pidana.

Maka dalam hal ini harus ditemukan adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku delik, jika tidak ditemukan adanya kesalahan maka terhadap pelaku delik tidak dapat dipidana dan tidak dapat dimintai pertanggung jawaban hukum.

Berdasarkan adagium hukum JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA : seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan, Berdasarkan Yurisprudensi MA No.33K/MIL/2009 salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa jika terjadi keraguan-keraguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan (Asas In Dubio Pro Reo) ”jelas Dosen yang akrab disapa Dr. Seno

Masih dengan pendapatnya, seseorang yang didakwa dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP maka intektual dader haruslah di temukan dan adili terlebih dahulu, bagaimana mungkin pelaku utama nya belum diadili sementara turut serta sudah lebih dulu diadili, berdasarkan ADAGIUM HUKUM “JURI NON EST CONSONUM QUAD ALIQUIS ACCESSORIES IN CURIA REGIS” yang mengandung Arti : Pelaku turut serta/pembantu tidak boleh diadili sebelum pelaku utama terbukti bersalah.

Lalu bagaimana dengan perkara yang sudah terlanjur berproses sementara pelaku utama belun diadili terlebih dahulu, maka ahli berpendapat, jika sudah berproses maka terhadap pelaku harus lah diputus onslaagh van reachts alle vervologing demi kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan” Terang Dr.Seno

Sementara Dr. NOVIRISKA,SH.,M.HUM selaku ahli perdata berpendapat bahwa dalam konteks hukum ini pada sejatinya merupakan serangkaian hukum perdata lebih tepat nya wanprestasi dan bukan pidana, karena bermula dari jalinan ada nya perjanjian bentuk Kerjasama usaha dan bagi hasil antara terdakwa dengan Pihak Pelapor.

Wanprestasi adalah istilah yang diambil dari bahasa Belanda wanprestatie dengan arti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Berdasarkan arti dalam KBBI, wanprestasi adalah keadaan salah satu pihak (biasanya perjanjian) berprestasi buruk karena kelalaian. Dalam hukum Perdata, wanprestasi berarti kegagalan dalam memenuhi prestasi yang sudah ditetapkan.

Prestasi merupakan suatu hal yang dapat dituntut. Dalam sebuah perjanjian, umumnya ada satu pihak yang menuntut prestasi kepada pihak lain.
Wanprestasi sebagaimana diterangkan Pasal 1238 KUH Perdata adalah kondisi di mana debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Artinya jika adanya sebuah bentuk perjanjian dan kerjasama namun ada prestasi yang tidak di indahkan oleh salah satu pihak, maka kualifikasinya adalah perbuatan perdata yakni Wanprestasi/Cidera janji bukanlah Pidana. Karena sifat melawan hukum perdata dan sifat melawan hukum pidana mempunyai kualifikasi pemaknaan hukum yang berbeda” Jelas Dr. NOVIRISKA.(Red )