BISKOM, Denpasar – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan seharusnya Utusan Daerah di dalam MPR diisi oleh mereka yang memiliki wilayah-wilayah di Nusantara ini. Baik itu Raja dan Sultan Nusantara, maupun Masyarakat Adat penghuni wilayah yang berbasis Suku, Marga, Nagari dan sejenisnya.
“Berbicara tentang Utusan Daerah, kita harus membaca sejarah keberadaan wilayah di Nusantara ini,” kata LaNyalla dalam FGD “Siapakah Utusan Daerah MPR? Membedah Siapa Saja Utusan Daerah di MPR dan Bagaimana Pengisiannya, di Universitas Udayana, Bali, Selasa (20/6/2023).
Mereka inilah yang mengalami secara langsung penjajahan oleh VOC dengan Tentara Belandanya. Sehingga sejarah mencatat beberapa perlawanan terhadap Belanda telah terjadi di era Kerajaan dan Kesultanan Nusantara.
Puncaknya, lanjut LaNyalla, para Raja dan Sultan Nusantara memberi dukungan moril dan materiil yang konkrit bagi lahirnya negara ini, berupa penyerahan Wilayah-Wilayah mereka untuk menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
“Sikap Legowo dari para Raja dan Sultan Nusantara itu sekaligus bukti bahwa sudah seharusnya para Raja dan Sultan Nusantara ini adalah bagian dari Pemegang Saham Utama negara ini,” ujarnya.
Tetapi fakta yang terjadi, imbuhnya, Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, serta Kelompok Masyarakat Adat yang dulu menghuni Hutan atau Wilayah berbasis Suku, Marga atau Nagari, sama sekali tidak terlibat dan tidak memiliki saluran langsung dalam menentukan wajah dan Arah Perjalanan bangsa ini.
“Perlu kita ingat, ada empat syarat untuk berdirinya suatu negara. Pertama, adanya Rakyat. Kedua, adanya Wilayah. Ketiga, terbentuknya pemerintahan. Dan keempat, adanya pengakuan internasional,” papar dia.
Sebelum Indonesia lahir, dikatakan LaNyalla, wilayah di Nusantara terbagi dalam dua zona. Yang pertama adalah Zelfbesturende Land Schappen, atau daerah-daerah berpemerintahan sendiri, yang sejatinya dikuasai Kerajaan dan Kesultanan Nusantara.
Yang kedua, adalah Volks Gemeen Schappen atau wilayah yang dihuni dan dimiliki kelompok Masyarakat Adat, yang berbasis Suku, Marga, Nagari, dan sebagainya. Kemudian Belanda menciptakan daerah-daerah baru, yaitu daerah Otonom dan daerah Administratif Pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara.
“Jadi, para pendiri bangsa, saat menyusun tentang Utusan Daerah, sudah memikirkan bahwa seharusnya Utusan Daerah di dalam MPR dihuni oleh mereka yang memiliki wilayah-wilayah di Nusantara ini,” ungkap Senator asal Jawa Timur itu.
Namun katanya, rumusan Utusan Daerah yang didisain para Pendiri Bangsa, belum pernah dilakukan secara benar, baik di era Orde Lama, maupun Orde Baru. Pada masa Orde Lama, dari tahun 1945 hingga tahun 1965, MPR RI belum dapat dibentuk secara utuh dan konsisten, karena situasi saat itu yang tidak mendukung, akibat beberapa perubahan Model Konstitusi dan gejolak militer akibat Agresi Militer Belanda serta beberapa pemberontakan di dalam negeri.
“Di era Orde Baru, dari tahun 1966 hingga 1998, Utusan Daerah justru diisi oleh unsur Eksekutif yang ada di daerah. Mulai dari Gubernur, Panglima Kodam, Kepala Kepolisian Daerah, Rektor Universitas Negeri, dan lain sebagainya. Pemilihan tersebut juga diserahkan kepada DPRD Provinsi. Sehingga Utusan Daerah banyak yang berafiliasi kepada Golongan Karya, yang mendominasi kursi di DPRD Provinsi,” katanya.
Diperparah lagi, dengan adanya Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, bangsa ini telah mengubur Sistem Bernegara yang dirumuskan para Pendiri Bangsa tersebut.
“Untuk itu, saya menawarkan kepada kita semua, untuk kita sepakati lahirnya Konsensus Nasional kembali kepada Demokrasi Pancasila. Kembali kepada Sistem Bernegara rumusan Pendiri Bangsa. Dan mengisi Utusan Daerah dengan benar, yakni mereka-mereka pemilik wilayah asal usul Negara ini. Yaitu para Raja dan Sultan Nusantara serta Tokoh Masyarakat Adat,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan Rektor Universitas Udayana Prof.Dr.Ir I Nyoman Gede Antara. M.Eng.IPU mengatakan, sudah saatnya daerah kembali memiliki utusan daerah di MPR. “Utusan Daerah jika harus diaktifkan kembali adalah bagian dari upaya serius merawat memori kolektif bangsa dalam sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Utusan Daerah harus dihuni oleh utusan yang tepat untuk tujuan tersebut,” kata Rektor dalam sambutan resminya.
Narasumber acara tersebut, Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja. SH. M.Hum dari Universitas Udayana, mengatakan pemilik wilayah yang dimaksud bisa juga para Raja yang sudah punya kerajaan dan masyarakat adat, termasuk pemangku desa adat. “Contohnya seperti desa adat di Bali. Hal ini pun sangat layak untuk menjawab Siapakah utusan daerah sesuai dengan tema kita ini,” katanya.
Hal senada diungkapkan oleh narasumber yang lain Mohammad Novrizal SH. LI M dari Universitas Indonesia. Kata dia, kewajiban perlindungan negara bukan hanya diberikan pada orang, melainkan juga pada ruang. “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, setiap daerah, baik padat ataupun jarang penduduknya harus memiliki kesetaraan hak perwakilan atau territorial rights,” katanya.
Hal yang tegas diungkapkan oleh Raja Sidenreng Sulawesi Selatan PYM Adatuang Sidenreng XXV Ir. H. Andi Faisal Sapada. Kata dia, hal ini membutuhkan kesepakatan atau konsensus nasional untuk mengembalikan UUD 1945 sesuai naskah asli.
“Supaya kedaulatan rakyat ini betul-betul dijamin sesuai dengan harapan pendiri bangsa. Ini membutuhkan perjuangan, konsekuensi dan sebagainya. Kalau ini lebih baik untuk rakyat, kenapa tidak kita perjuangkan. Kami sangat berharap demikian karena pemilik wilayah secara adat, bukan secara pemerintahan, adalah Raja-Raja dan Sultan se Nusantara. Kita sudah menyumbang banyak untuk negara ini,” kata Raja Andi yang juga diamini Raja Klungkung PYM Ida Dalem Semara Putra.
LaNyalla hadir didampingi Anggota DPD RI dari Bali yakni Dr. SHRI I.G.N Arya Wedakarna, Drs. Made Mangku Pastika M.M, H. Bambang Santoso M.A. Selain itu juga hadir Anggota DPD RI Provinsi Banten, Drs. K.H Habib Ali Alwi, Anggota DPD RI Provinsi Sulbar H. Almalik Pababari, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Kabiro Setpim DPD RI Sanherif Hutagaol, dan Kapusperjakum DPD RI Andi Erham.
Sementara tuan rumah hadir Rektor Universitas Udayana Prof.Dr.Ir. I Nyoman Gede Antara. M.Eng.IPU dan para wakil rektor. Sedangkan nara sumber acara tersebut adalah Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja. SH. M.Hum dari Universitas Udayana dan Mohammad Novrizal SH. LI M dari Universitas Indonesia.
Sementara penanggap FGD tersebut adalah Raja Klungkung PYM Ida Dalem Semara Putra, Raja Sidenreng Sulsel PYM Adatuang Sidenreng XXV Ir. H. Andi Faisal Sapada dan
Prof. Dr. Drs. I Gusti Bagus Suka Arjawa dari Udayana. (Juenda)