BISKOM, Jakarta – Proposal kenegaraan DPD RI yang ditawarkan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam kerangka menyempurnakan dan memperkuat sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa, mendapat apresiasi positif dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Mulyadi.
Mulyadi sependapat dengan gagasan LaNyalla agar MPR RI dikembalikan menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Jika pun Ketua DPD RI berharap agar proses kembali kepada UUD 1945 naskah asli dilakukan dalam waktu dekat sebelum masa Pilpres diselenggarakan, Mulyadi menilai hal tersebut bisa dilakukan.
“Nanti untuk Pilpres bisa dipindahkan ke MPR. Biarkan Pemilu Legislatif yang terus berlangsung,” kata Mulyadi saat menjadi narasumber pada acara Diskusi Publik Membedah Lima Proposal Kenegaraan DPD RI di Ruang Mandala Saba Gedung Rektorat Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023).
Pada saat yang sama, Utusan Golongan dan Utusan Daerah dapat terus dilakukan pembahasan mengenai kriterianya. Yang pasti, kata Mulyadi, mereka merupakan representasi bangsa lama yang sangat berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia.
Mulyadi menjelaskan alasan mengapa pentingnya mengakomodasi bangsa-bangsa lama. Sebab, kata Mulyadi, merekalah yang dijajah. “Bangsa-bangsa lama itu yang merupakan suku Sunda, Jawa, dan suku-suku lainnya yang mengalami penjajahan. Jadi, Indonesia ini merupakan kumpulan bangsa lama,” tutur LaNyalla.
Mulyadi menilai, dari hasil kajian yang dilakukan, satu-satunya negara yang memiliki lembaga penjelmaan rakyat adalah Indonesia. “Negara lain tak ada yang memiliki institusi penjelmaan rakyat. Indonesia ini satu-satunya melalui MPR itu,” tutur Mulyadi.
Mulyadi juga menyebut bahwa gagasan LaNyalla di proposal kedua, yang mendorong adanya anggota DPR RI dari unsur perseorangan, merupakan gagasan yang positif. “Dan sudah banyak negara yang menerapkan hal itu. Tidak perlu dianggap aneh, karena sejatinya memang ada konsep anggota DPR RI dari unsur perseorangan,” tegas Mulyadi.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Ekonomi-Politik Dr Ichsanuddin Noorsy menjelaskan, kapitalisme dengan demokrasinya telah melahirkan masyarakat yang selalu cemas. Dan sialnya, kata dia, meski terbukti gagal, faktanya Indonesia malah menjadi negara pengekor kapitalisme setelah melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999-2002. “Kita ini terlihat suka sekali dengan pemikiran Barat, tanpa mau cari pembanding atau alternatif. Padahal, kapitalisme dengan materialismenya itu terbukti gagal. Dan, Indonesia ini cenderung ikut-ikutan saja,” tutur Ichsanuddin.
Dikatakan Ichsanuddin, lima proposal yang ditawarkan DPD RI merupakan upaya untuk memperbaiki bangsa. Dan, kata dia, Ketua DPD RI menggagas hak tersebut berdasarkan alam pikiran para pendiri bangsa.
“Ketua DPD RI berpikir berdasarkan alam pikiran para pendiri bangsa. Dalam sidang BPUPKI, sejumlah tokoh sudah menegaskan bahwa kita tak bisa berpikir ala Barat dan Timur. Kita harus berpikir ala kita,” tutur Ichsanuddin.
Oleh karenanya, Ichsanuddin Noorsy sependapat bahwa MPR mesti dikembalikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Pun halnya dengan anggota DPR RI dari unsur perseorangan, Ichsanuddin berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan sepanjang bangsa ini memiliki kesungguhan mengimplementasikannya.
Ichsanudin menilai anggota DPR RI dari unsur perorangan sangat penting. Sebab, kata dia, anggota DPR dari partai politik harus tegas lurus dengan keputusan partai. Sebab, jika mereka keluar dari keputusan partai, akan dihadapkan pada ancaman PAW dan recall. “Maka di situlah pentingnya anggota DPR RI dari unsur perseorangan,” tutur Ichsanuddin.
Mengenai gagasan mengembalikan Utusan Golongan dan Utusan Daerah, syaratnya apa saja, Ichsanuddin menilai hal itulah yang sedang diperbaiki oleh DPD RI. “Sehingga, kalau saya istilahkan demokrasi paripurna. Kalau LaNyalla pakai istilah demokrasi berkecukupan,” tutur Ichsanuddin.
Menurut Ichsanuddin, kembali kepada UUD 1945 naskah asli bukan saja untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem bernegara, tetapi juga mengembalikan sistem ekonomi sebagaimana telah diatur sesuai rumusan para pendiri bangsa.
“Khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan kedaulatan ekonomi rakyat,” tegas Ichsanuddin.
Narasumber lainnya, Dr Abdy Yuhana yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan menilai bahwa bukan hal tabu konstitusi untuk diamandemen. Berkaca pada sejarah pasca-kemerdekaan, Indonesia pernah berada dalam situasi tersebut. Sebelum akhirnya pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali kepada UUD 1945 naskah asli.
“Berkaca pada sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan, maka tidak ada yang tak mungkin untuk mengubah sejarah menjadi lebih baik. Konstitusi dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Itulah adagiumnya. Konstitusi kita dibuat oleh para pemikir bangsa dengan visi yang sangat baik. Sementara saat amandemen 1999-2002, kita tidak tahu siapa saja yang merumuskan konstitusi itu,” tutur Abdy.
Sementara Koordinator Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Dr Nia Kania Winayanti lebih menekankan agar perbaikan dan penyempurnaan sebagaimana proposal tawaran Ketua DPD RI dilakukan dengan baik dan benar. Ia tak mau sejarah kembali terulang, di mana MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara justru menjelma menjadi alat legitimasi Presiden, bukan alat kontrol Presiden.
“Berubahnya UUD akan berimplikasi pada perubahan struktur ketatanegaraan kita. Proposal usulan DPD RI tak masalah dari aspek kajian dan akademis. Tapi kita juga perlu memetakan posisi dan kedudukan MPR RI, agar jangan sampai dia menjadi alat politik kekuasaan politik seperti masa Orde Baru,” tutur Nia.
Sebagai inisiator kembali ke UUD 1945 naskah asli untuk selanjutnya diperbaiki dan disempurnakan dengan teknik adendum, Ketua DPD RI menawarkan lima proposal kenegaraan yang telah dipublikasikan. Puncaknya disampaikan dalam pidato Ketua DPD RI saat Sidang Bersama MPR, DPR dan DPD RI pada tanggal 16 Agustus 2023.
Lima proposal kenegaraan itu di antaranya adalah proposal pertama, mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan. Yang
menampung semua elemen bangsa. Yang menjadi penjelmaan rakyat
sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan.
Kedua, membuka peluang adanya anggota DPR RI yang berasal
dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan, selain dari
anggota partai politik, sebagai bagian dari upaya untuk memastikan
bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan kelompok partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas oleh keterwakilan
masyarakat non partai.
Ketiga, memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme pengisian dari bawah. Bukan penunjukan oleh Presiden seperti yang terjadi pada era Orde Baru.
Dengan komposisi Utusan Daerah yang mengacu kepada kesejarahan wilayah yang berbasis kepada negara-negara lama dan
bangsa-bangsa lama yang ada di Nusantara, yaitu para Raja dan Sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara.
Sedangkan Utusan Golongan diisi oleh Organisasi Sosial
Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki kesejarahan dan bobot
kontribusi bagi pemajuan Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
Keempat, memberikan kewenangan kepada Utusan Daerah dan
Utusan Golongan untuk memberikan pendapat terhadap materi
Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden
sebagai bagian dari keterlibatan publik yang utuh.
Kelima, menempatkan secara tepat, tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk di era Reformasi, sebagai bagian dari kebutuhan sistem dan struktur ketatanegaraan.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero. Turut mendampingi Kabiro Setpim DPD RI, Sanherif Hutagaol dan Kepala Kantor Wilayah DPD RI Jawa Barat, Herman Hermawan.
Hadir pula Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat, Dr Muhammad Budi Djatmiko, Rektor Universitas Pasundan yang juga Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Barat, Prof Eddy Jusuf beserta jajaran, Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Prof Didi Turmudzi, Ketua Umum Gerakan Bela Negara (GBN) Brigjen TNI (Purn) Hidayat Purnomo, Ketua Program Magister Ilmu Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Pasundan, Yaya Mulyana Abdul Azis, Para Mahasiswa Pascasarjana (S3 dan S2 Hukum) Universitas Pasundan dan seluruh tamu undangan lainnya.(Juenda)