BISKOM, Jakarta – Mahkamah Agung sebuah panggung budaya wayang kulit di gelar dengan cerita klasik yang terinspirasi. Jakarta, 26/08/2023.

Di balik cerita Klasik nya ada nilai2 luhur yang terkandung dan bermakna untuk bisa di jadikan sebagai Petunjuk serta suri tauladan dalam kehidupan.

Semar adalah tokoh punakawan di pewayangan Jawa.

Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana di maknai Sejati nya Mahkamah Agung R.I sekarang dan yang akan datang.

Empat sosok hebat yang menjadi dalang dalam aksi panggung yang piawai ini adalah Ki Dr. Yanto SH, MH; Kuncoro Brimob; Ki Harso Widisantoso; dan Ki Bayu Aji.

Hadir pula Kapolri Listyo Sigit dan Panglima TNI Yudo Margono, yang dengan penuh antusiasme turut menyaksikan pesona seni Wayang Kulit

Keindahan seni dan makna mendalam dari pementasan ini berhasil menyentuh hati tidak kurang dari 4.000 lingkungan keluarga Dharmmayukti Pengadilan di seluruh Indonesia.

Di tengah Acara Prof DR HM Syarifudin SH MH ( Ketua M.A ) melantunkan pantun, “Si mamat pulang membawa papan, bajunya panjang berkain sarung. Selamat ulang tahun Mahkamah Agung yang ke-78, Untuk Terus Menuju Peradilan yang agung yang berintegritas

Kemudian pantun berikut seperti ini: “Dari kantor pulang ke asrama, membawa uang untuk membeli sarapan.

Mari kita nonton wayang bersama, meriahkan ulang tahun Mahkamah Agung yang ke-78.”

Selain Ketua MA, tampak juga dalam prosesi Wakil Mahkamah Agung bidang Yudisial, Dr Sunarto SH MH . Ia menjadi bagian dalam prosesi serah terima wayang, yang berjalan dalam lakon yang berputar di atas panggung.

Pementasan yang berkesan, lebih dari sekadar pertunjukan, ia adalah ritual budaya yang menghubungkan alam nyata dan gaib, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan menghubungkan hati setiap individu yang menyaksikan.

Untuk kemudian di akhir acara dibagikan ragam kenangan doorpize. Menarik bagi penonton milenial dan para pemimpin yang hadir

Semua bergabung dalam harmoni yang menggetarkan jiwa, seperti senandung lembut dalam khayangan.

Tontotan yang mengibur dan tuntutan, sekaligus melestarikan budaya bangsa. (Juenda)