BISKOM, Jakarta – Lebih dari 1000 orang dari 288 kabupaten/kota dan 14 provinsi serta dari Kementerian/Lembaga terkait bertemu pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting 2023 yang berlangsung pada 4-7 Oktober 2023 di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat. Pada acara yang diinisiasi dan diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) ini, para pemangku kepentingan tersebut secara khusus membahas upaya percepatan penurunan angka prevalensi stunting agar mencapai target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 14% pada 2024.

Pada pembukaan Rakortek, Kamis (05/10/2023), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dalam pidatonya yang dibacakan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan Pembangunan Kependudukan Satya Sananugraha, menyampaikan bahwa pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan terkait terus melakukan konvergensi program pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga tingkat desa untuk memberantas stunting.

Selain itu, pada 2023 ini sedang dilaksanakan pendataan melalui Survei Kesehatan Indonesia (SKI). Menurutnya, hasil survei tersebut akan menjadi evaluasi keberhasilan penanganan percepatan penurunan stunting.

“Saya berharap pelaksanaan SKI di daerah dapat dikawal oleh Organsisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, agar tersedia data status kesehatan masyarakat yang valid dan reliabel. Kita harus optimis bahwa target prevalensi stunting 14% pada 2024 akan tercapai, dengan target penurunan sebesar 3,8% per tahunnya,” ungkapnya.

Lebih jauh, Menko PMK menuturkan bahwa dalam upaya melakukan orkestrasi dengan semua K/L dan pemerintah daerah, telah dilaksanakan Roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Kemiskinan Ekstrem di 33 provinsi (dari 38 provinsi pemekaran) dan 393 kabupaten/kota untuk mengidentifikasi isu/kendala serta solusi dan kebijakan afirmatif untuk penurunan stunting.

“Dari hasil roadshow tersebut, telah dipetakan kendala dan permasalahan di lapangan baik dari aspek tata kelola, aspek intervensi spesifik, maupun intervensi sensitif. Rekomendasi untuk penyelesaian setiap permasalahan juga telah disampaikan kepada para pimpinan daerah dan diharapkan telah diimplementasikan,” ujarnya.

Menindaklanjuti hasil Roadshow Stunting, saat ini Kemenko PMK bersama K/L terkait sedang melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Terpadu di 14 provinsi prioritas stunting dan telah selesai dilaksanakan di 6 provinsi. Berdasarkan hasil monev terpadu diketahui ada beberapa hal terkait dengan aspek tata kelola yang masih perlu menjadi perhatian.

“Koordinasi antara pelaksana serta dukungan operasional masih belum optimal di tingkat desa hingga kabupaten/kota.Optimalisasi pemanfaatan anggaran yang mensasar stunting, khususnya DAK Fisik Bidang Kesehatan seperti pengadaan PMT lokal dan DAK non fisik seperti Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BO KB),” sebut Menko PMK.

“Masih adanya daerah yang belum mengusulkan pengadaan USG dan antropometri terstandar. Diharapkan tahun ini, alat antropometri terpenuhi di semua posyandu dan alat USG tersedia di semua puskesmas guna deteksi dini stunting,” imbuhnya.

Untuk itu, pada kesempatan ini, Menko PMK meminta Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di daerah agar secara optimal dan rutin melakukan koordinasi untuk peningkatan konvergensi dan pemecahan masalah yang ada. Termasuk penguatan dan pembinaan peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) dalam pencegahan terjadinya insiden kasus stunting.

“Saya mengharapkan seluruh pemangku kepentingan mendukung segala upaya penurunan stunting melalui percepatan penyerapan DAK terkait stunting, mengoptimalkan APBD, alokasi Dana Desa, dan meningkatkan sinergitas antar program dari tingkat nasional hingga desa, sehingga pelaksanaan program tepat waktu, efektif, dan efisien,” pinta Muhadjir.

“Koordinasikan serta sinkronisasikan intervensi spesifik dan sensitif dari hulu ke hilir dengan mengoptimalkan peran pemangku kepentingan.Program bapak/bunda asuh anak stunting agar dilaksanakan dengan melibatkan sumber daya yang ada,” tandasnya.

Sebelumnya, pada kesempatan yang sama Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan bahwa sejak 2013 terdapat kebijakan nasional untuk melakukan pencegahan dan percepatan penurunan stunting di tanah air. Salah satunya dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Kemudian dilanjutkan dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

“Di tahun 2022 setelah ada Perpres, meskipun ada provinsi prioritas atau di dalamnya ada kabupaten prioritas, akan tetapi semua kabupaten/kota mengerjakan upaya percepatan penurunan stunting karena ada Tim Percepatan Penurunan Stunting di provinsi, kabupaten, bahkan sampai di tingkat desa dan kelurahan. Tim di tingkat desa dan kelurahan sendiri mencapai 82.773 tim,” paparnya.

Menurut Hasto, tren penurunan angka prevalensi stunting di tanah air dari 2013 sampai 2016 rata-rata mencapai 1,3% per tahun, yakni dari 37,2% pada 2013 menjadi 34% pada 2016. Sedangkan dari 2016 sampai 2021 rata-rata turun 1,6% per tahun dan dari 2021 sampai 2022 rata-rata turun 2,8% per tahun. Sehingga, pada 2022 angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi 21,6%.

Untuk mencapai target angka prevalensi stunting 14% pada 2024, menurut Hasto, pada 2023 alokasi anggaran kementerian/lembaga yang mendukung program percepatan penurunan stunting mencapai Rp30 Triliun. Adapun rinciannya Rp1,2 Triliun untuk program dukungan, Rp2,1 Triliun untuk intervensi spesifik seperti pemberian makanan, dan Rp26,7 Triliun untuk intervensi sensitif seperti penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi.

“Capaian-capaian dalam upaya penurunan stunting baik program intervensi spesifik maupun sensitif sudah kita rekam semua dan nanti dapat menjadi bahan diskusi,” ujarnya.

Selanjutnya, Hasto secara khusus menjelaskan terkait pentingnya program intervensi spesifik dalam upaya penurunan stunting seperti sosialisasi, edukasi, dan komunikasi untuk merubah perilaku masyarakat, khususnya ibu hamil.

“Termasuk perlunya dukungan kebijakan tentang pemberian ASI. Khususnya pemberian ASI ekslusif yang masih perlu sekali untuk didorong karena perannya penting, murah, mudah. Kemudian juga perlu peningkatan cakupan pemberian makanan tambahan kepada ibu hamil dan balita,” terangnya.

Kemudan terkait program intervensi sensitif, menurut Hasto, salah satu yang menjadi masalah saat ini adalah akses air minum dan sanitasi. Sebagai contoh, saat ini masih banyak masyarakat yang enggan buang air besar (BAB) di jamban meskipun telah disediakan jamban secara gratis.

“Catatan khususnya memang terkait sanitasi, kemudian juga pembangunan infrastruktur, serta edukasi dan refocusing bantuan sosial untuk keluarga yang beresiko tinggi stunting,” ungkapnya.

Namun demikian, Hasto tetap optimis bahwa upaya mewujudkan target angka prevalensi stunting 14% pada 2024 akan dapat terwujud dengan dukungan dari seluruh pihak terkait.

“Insya Allah optimis karena kita lihat penurunan stunting kita mengalami kenaikan tajam, kemudian pelaksanaan dan realisasi komitmen dari tingkat pusat sampai daerah dan juga termasuk perguruan tinggi, media, swasta cukup menggembirakan. Selain itu, program gotong royong yang melibatkan Bapak Asus Anak Stunting (BAAS) juga luar biasa,” paparnya.

Terakhir, Hasto menyampaikan usulan bahwa untuk menuju penurunan angka prevalensi stunting 3.8% per tahun pada 2023 dan 2024 sehingga tercapai target 14% pada 2024, membutuhkan penambahan provinsi prioritas.

“Kemudian fokus konvergensi menggunakan dana desa misalnya minimal 10% untuk masing-masing desa, dana kelurahan dan PKH untuk pembelian makanan tambahan lokal, serta perlu dukungan lintas sektor untuk penguatan pengisian Elsimil dan SIGA/Pendataan Keluarga,” pungkasnya.

Sebagai informasi, kegiatan Rakortek diisi dengan Diskusi Panel, Talkshow, dan Diskusi Paralel Kelas Intervensi Spesifik, Intervensi Sensitif, dan Tata Kelola. Selain evaluasi pelaksanaan program percepatan penurunan stunting serta berbagi pengalaman dan pengetahuan, diskusi juga dilakukan untuk merumuskan rencana aksi nyata pada 2023 dan 2024 untuk mencapai target penurunan prevalensi stunting 14% pada 2024.

Bertindak sebagai pemateri pada Rakortek ini, di antaranya Dirjen Bina Bangda, Kemendagri; Deputi Advokasi dan Lini Lapangan, BKKBN; Deputi Bidang Dujak Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Setwapres; Direktur Gizi dan KIA, Kemenkes; Direktur Dana Desa, Insentif, Otsus, dan Keistimewaan, Kemenkeu; Direktur Pengembangan Sosial Budaya, Kemendesa PDTT; Asisten Deputi Bidang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Kementerian BUMN; Direktur PAUD, Kemendikbudristek; Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Kemenag; Plh. Direktur SUPD III, Kemendagri;  Plh. Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan, BKKBN; Kasubdit Keterpaduan Penyelenggaraan Infrastruktur Permukiman, Direktorat SSPIP, Kementerian PUPR; Koordinator Evaluasi dan Pelaporan Biro Perencanaan, Kementan; Ketua Pokja Stunting KADIN Indonesia; Wakil Sekretaris Umum APINDO; beserta para pakar seperti Prof. Dr. dr. Endang L. Achadi, Guru Besar FKM UI; A.H. Maftuchan, S.H. M. Kesos selaku Direktur Perkumpulan Prakarsa; Teguh Dartanto, Ph.D, Dekan FEB UI.

Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini tengah mengejar target penurunan stunting sebesar 7,6% poin pada 2024, agar target 14% stunting tahun 2024 dapat terwujud, sebagaimana juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Sejak 2018, program percepatan penurunan stunting digalakkan secara nasional dengan melibatkan 20 kementerian dan lembaga, serta pimpinan daerah di semua level pemerintahan. Presiden telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dan menetapkan Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah Tim Percepatan Penurunan Stunting Pusat, dan Kepala BKKBN selaku Ketua Pelaksana Tim Percepatan penurunan Stunting Pusat.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres Suprayoga Hadi mengatakan, aksi percepatan penurunan stunting harus lebih dipercepat lagi di tahun ini dan tahun depan. Maka dari itu, pihaknya mengundang para pihak terkait di daerah-daerah prioritas khusus yang memiliki prevalensi stunting tinggi dan memiliki jumlah anak stunting paling banyak untuk mengikuti Rakortek di Jakarta.

“Kita berharap daerah-daerah ini dapat melipatgandakan aksi nyata agar akselerasi penurunan stunting tercapai dalam sisa waktu yang ada,” ungkapnya.

Program prioritas penurunan stunting digencarkan pemerintah sejak 2018. Saat ini, prevalensi stunting telah menurun sebesar 9,2%, yaitu dari 30,8% pada 2018 menjadi 21,6% tahun 2022. Artinya, dalam empat tahun terakhir, kurang lebih 2,6 juta anak terselamatkan dari bahaya stunting.

Suprayoga Hadi mengingatkan, capaian ini belum memenuhi target nasional. Dalam dua tahun ini, prevalensi stunting harus diturunkan sebesar 7,6%, atau 3,8% setiap tahunnya.
“Ini memerlukan aksi nyata yang lebih masif dan komitmen yang lebih kuat dari para pimpinan daerah di semua level pemerintahan,” katanya.

Pada dasarnya apa yang telah dilakukan semua daerah dalam percepatan penurunan stunting sudah cukup menggembirakan. Hal ini dapat diukur dari nilai Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS), di mana kinerja penanganan stunting terus mengalami kenaikan dari 2018 hingga 2022. Indeks IKPS naik 2,4 poin, dari 70 tahun 2018 menjadi 72,4 pada 2022. Hal ini menunjukkan keseriusan komitmen di semua level pemerintahan, sejalan dengan aksi nasional yang semakin fokus menyasar target sasaran.

Setelah pelaksanaan Rakortek, pada esok hari, Jumat (06/10/2023), acara dilanjutkan dengan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting 2023 yang akan langsung dipimpin Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin. (Juenda)