BISKOM, Jakarta – Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, bergaris pantai sepanjang 81.000 km. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sekitar 62% luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan yakni mencapai 6,32 juta km2, sedangkan luas daratan hanya sebesar 1,91 juta km2. Luas negara kepulauan itu tidak semua dijaga ketat dan dapat diawasi oleh petugas keamanan.

Di sisi lain, kekayaan laut kita belum semua dilakukan eksplorasi, padahal jika dimanfaatkan dengan baik, potensi Sumber Daya Alam (SDA) kelautan jauh lebih besar dibanding potensi yang ada di wilayah daratan. Kelebihan yang ada ini akan menjadi incaran bagi pelaku kejahatan lintas negara yang memanfaatkan kondisi geografis Indonesia.

”Lebih dari 70% kejahatan itu sebenarnya ada di wilayah laut, mulai dari kejahatan kemaritiman seperti illegal fishing, pembajakan sampai penyelundupan. Bahkan, beberapa sumber kejahatan di darat justru dari laut seperti kejahatan human trafficking (perdagangan orang), penyelundupan narkotika, penyelundupan BBM bersubsidi, impor barang bekas, dan lainnya yang tidak saja mengganggu keselamatan masyarakat, tetapi juga mengancam kedaulatan negara,” terang Jaksa Agung.

Faktanya, masih terdapat banyak celah pada border-border yang ada sehingga riskan dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan kurangnya aparatur di laut, walaupun sudah ada 13 Lembaga/Instansi yang mempunyai kewenangan di laut. Sebagian besar dari Lembaga/Instansi tersebut sudah memiliki satgas gabungan tetapi masih banyak tugas-tugas yang kurang efektif di laut karena tumpang tindihnya kewenangan.

”Kejaksaan sebagai lembaga satu-satunya yang memiliki kewenangan di bidang penuntutan terhadap perkara-perkara yang berada di laut, sangat penting untuk diikutsertakan sebagai bagian dari penegakan hukum terpadu di laut, karena ujung dari penanganan perkara akan ke Kejaksaan sebagai dominus litis dalam proses penanganan perkara. Kejaksaan selama ini kurang berperan aktif dalam kejahatan-kejahatan yang ada di laut, padahal tindak pidana di laut sangat potensial untuk menambah pendapatan negara melalui denda dan uang pengganti dari kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana,” ujar Jaksa Agung.

Peranan Intelijen Kejaksaan di bidang kemaritiman harus dioptimalkan keberadaannya dalam rangka menyelanggarakan Intelijen Penegakan Hukum. Sasaran awal yang akan dilaksanakan ialah mendata border-border yang ada di seluruh Indonesia, mengawasi lalu lintas/tambat kapal-kapal yang keluar masuk wilayah Indonesia, kemudian kita mulai melakukan pendataan barang yang keluar dan masuk di wilayah perairan seluruh Indonesia.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan sangat konsen dengan upaya-upaya penanggulangan kejahatan di laut, karena berdampak luas terhadap perekonomian negara dan akan mengganggu keselamatan masyarakat, yang juga berdampak pada tindak pidana baik di darat maupun di laut.

Penanggulangan kejahatan di laut memang tidak bisa diserahkan oleh beberapa instansi saja, mengingat kompleksitas tindak pidana termasuk koordinasi antar instansi, sehingga solusi yang harus segera dibentuk adalah kerja sama secara intensif dan efektif yang tersentralistik. Dengan demikian, semua kepentingan stakeholder akan menjadi satu kesatuan yang terakomodir dan terkoordinir dengan baik, tidak saling menunggu dan saling merasa berwenang. Model seperti ini harus dilakukan klasifikasi modus tindak pidana guna mempermudah dalam mengurai benang merah yang selama ini terkesan saling lempar tanggung jawab dan merasa mempunyai wewenang. Selain itu, harus dilakukan satu komando dan satu langkah menjaga Sumber Daya Laut Nasional sebagai bagian dari kekayaan Bangsa Indonesia yang luar biasa.

Menutup perbincangan dengan Tim Media Puspenkum, Jaksa Agung menekankan bahwa Kejaksaan secara Sumber Daya Manusia (SDM) sudah sangat siap menjadi bagian terpenting dalam penegakan hukum di laut. (Juenda)