BISKOM, Semarang – Ada dua alasan mengapa perlu dibahas tentang metode kritisnya almarhum Romo Mangun berkaitan dengan Orde Baru; yaitu dalam peringatan 25 tahun wafatnya Romo Mangun, 10 Februari 2024 di Sleman, Yogyakarta (Kompas, 11/2), dijelaskan ada rentang waktu mencari dan menemukan mutiara pikiran dan karya Romo Mangun sampai dengan 6 Mei 2024 bertepatan dengan peringatan hari lahir beliau. Berbagai mutiara itu akan disajikan dalam sarasehan nasional pada Sabtu, 18 Mei 2024, di Bentara Budaya Jakarta.
Di samping itu,dalam fase mencari-menemukan itu, ternyata ada tulisan Romo Mangun tertanggal 7 Agustus 1998 (beliau meninggal 1999) di buku kompilasi tulisan sebagai sebuah laporan sarasehan “Deklarasi Forum Masyarakat Katolik Indonesia” (Jakarta 13/8 – 15/8, 1998; disunting oleh A. Djoko Wiyono, St. Sularto, Frans M. Parera) di bawah sub-judul “Lima Komponen Orde Baru.” Tulisan ini bernilai ratna mutu manikam dan rasanya pantas dan tepat dipakai sebagai rujukan kritis dalam konteks sebentar lagi kita akan melangsungkan pergantian kepemimpinan nasional presiden dan wakil presiden. Tegasnya, metode kritisnya alm. Romo Mangun terkait Orde Baru, dapatlah kiranya menjadi kaca benggala (Jawa) untuk perjalanan pemerintahan selanjutnya. Pasti intinya, budaya negatif Orde Baru itu janganlah ditiru oleh siapa pun.
Motivas dasar
Basis metode kritisnya Romo Mangun ialah pokok pikirannya tentang motivasi dasar eksistensi Republik Indonesia, yakni: “Republik Indonesia dirintis, diperjuangkan, dan diproklamasikan justru untuk membela dan mengangkat the underdogs bangsa kita. Tidak untuk memberi nikmat lebih kepada kaum pribumi atau pun asing yang sudah atau mudah jaya.” Pokok pikiran itu merujuk pada apa yang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta secara eksplisit menyatakan “Kita harus merdeka dari exploitation de’lhomme par l’homme oleh kamu asing maupun pribumi kaya-kuasa.”
Sebelum sampai ke basis metode kritisnya, Romo Mangun memang lebih dahulu menguraikan: “Sesudah kegagalan Orde Lama yang kelewat longgar, dan Orde Baru yang terlalu memberangus, semoga di masa mendatang bangsa kita sudah lebih dewasa dalam percaturan politik yang sehat. Semoga pula masyarakat politik partai-partai tergolong perintis dalam penciptaan iklim dan suasana, di mana berlakulah kesepakatan, bahwa (a) berpolitik lain tidak berarti bermusuhan, (b) berpendapat sama belum tentu berarti mendukung, (c) demi peningkatan kualitas pendapat diri sendiri, diperlukan keberanian untuk berpendapat berbeda, dan (d) oleh karena itu kebudayaan mendengarkan lawan dan menghayati motivasi serta genesis (asal usul) argumentasi lawan perlu disosialisasikan.” (hal.. 210).
Romo Mangun juga menekankan bahwa tujuan politik tidak menghalalkan segala jalan, seperti dalam dunia komunis, fasis, maupun kapitalis liberal kolonial dan imperial. Sebab, politik kita, yang alamiah berkarya dalam bidang kekuasaan juga dan selalu berikhtiar sekuat-kuatnya mencari kemenangan, namun tetaplah harus menerapkan politik Pancasila, yang artinya bermoral dan berhati-nurani. (hal. 212)
Lima Budaya negatif Orba
Berlandaskan motivasi dasar seperti itu, metode kritisnya Romo Mangun membedah dan menyebutkan ada lima komponen Orde Baruyang mengarah kepada budaya negatif sebagai berikut: Satu, terciptanya feodalisme pribumi, yang dari zaman-zaman lampau masih saja dipraktekkan lewat membelenggu, memperdungu, dan melayukan jiwa kawula kecil sehingga terus menjadi hamba-hamba bermental jongos dan kuli. Dengan segala dampaknya, terutama dampak kesenjangan secara budaya formal dan informal, dan hal itu sangat terasa sampai ke dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat. Pola relasi senjang masih sangat tampak, seperti priyayi – rakyat jelata; kaya – miskin; penguasa – masyarakat.
Dua, terjadi peniruan sistem dan struktur ekonomi Hindia Belanda lewat sistem kapitalisme yang dicampur dengan feodalisme pribumi. Praktik dan dampaknya ialah menyedot hampir seluruh kekayaan Nusantara secara sentralistik, seperti dahulu ada yang disebut “Factorij Batavia.” Dampak sangat nyata antara lain, terjadi akumulasi kekayaan pada sebagian kecil orang namun kelewat kaya raya dan menumpuk di pusat (Jakarta, dan kota-kota industri, pusat bisnis). Fase seperti ini disebut oleh Romo Mangun sebagai: Menjadi tumpukan lahar kebencian dan ledakan vulkanik amuk primitif primordial dan separatis sebagai ekses dari sentralisme yang ketat dan kejam.” (hal 214)
Tiga, berlangsung yang disebut imitasi fasisme lewat serba paksaan dan kalau perlu kekerasan/kekejaman. Ada masa-masa “menebar ketakutan dan terror mental” terhadap siapa pun entah kalangan kaum cerdik cendekiawan, intelektual, bahkan ulama sekali pun manakala mereka itu dianggap melawan atau bertentangan gagasan dengan penguasa/kekuasaan. Imitasi fasisme seperti itu sudah dapat dipastikan membuat suasana takut terutama di kalangan massa masyarakat bawah/miskin.
Empat, berlangsung berbagai visible and invisible of transnational super-powers yang beroperasi di negeri ini lewat perangai neo-kolonial dan neo-imperialnya. Kekuatan luar seperti itu sangat memengaruhi dimensi-dimensi politik, sosial, ekonomi, budaya termasuk pendidikan kita saat itu; sehingga muncul sistem kapitalisme semu yang lebih mengutamakan konco-konco, bisnis keluarga, dan sejenisnya. Dampak yang sangat terasa ialah, masyarakat atau siapa pun semakin sulit mendeteksi mana yang menguntungkan bangsa dan masyarakat Indonesia, mana pula yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir orang.
Lima, subur tercipta budaya backing-backingan; Orang kaya minta backing penguasa dan sebaliknya, namun juga perlulah pengusaha minta di-backing-i kelompok buruh tertentu agar aman, dan sebagainya. Ungkapan yang dipergunakan oleh Romo Mangun, ialah “terbentuknya variable organisasi-organisasi hitam di bawah tanah” dan hal itu terasa semakin kuat karena adanya kolusi antara praktik-praktik fasisme dan banditisme.
Teropong masa kini
Metode kritisnya Romo Mangun ini, bila diimplementasikan sebagai teropong masa kini, kiranya dapat sangat terkait dengan beberapa refleksi berikut: pertama, dimensi sejarah berbangsa dan bernegara di negeri kita ini tidak boleh pernah dilupakan, dan harus selalu dikaji secara kritis setiap periodenya. Bila abai terhadap refleksi kritis, kita mungkin akan lupa terhadap nilai-nilai historis Orde Lama, Orde Baru, bahkan jangan-jangan Orde reformasi yang masih dan sedang kita jalankan saat ini.
Kedua, dalam skala mikro, politik memang berjuang dan berkiprah untuk dunia kekuasaan, namun tetap harus dicatat bukan kekuasaan demi kekuasaan belaka, serta hanya untuk kepentingan sekelompok orang; melainkan terutama kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan publik/bersama. Ketiga, pihak yang kuat/berkuasa, kaya; sangat besar kemungkinannya menjadi pemenang. Kontestasi politik tidak mencari kekalahan, dan pasti mencari kemenangan, namun semestinya menang (baca berkuasa) disertai kemenangan moralitas dan etikanya juga.
Dan keempat, Romo Mangun mengatakan: “demikianlah politik adalah seni mencapai yang masih mungkin tercapai, namun sekaligus juga seni mempersiapkan atau mematangkan kondisi, sehingga yang pada suatu saat dianggap belum mungkin, ternyata bisa mungkin dan menjadi realitas.” Itulah kehebatan dan hasil kerja politisi, yakni “mengarang ideologi” namun hendaknya hal seperti itu bukan pekerjaan negarawan berhubung negarawan bekerja berpedoman pada prinsip-prinsip hakiki.
Penegasan Romo Mangun di butir keempat ini mengelaborasi kata-kata Pahlawan Nasional RI, Mgr Albertus Soegijapranata “In principiis, unitas; In dubiis libertas; In omnibus caritas: dalam hal prinsip/azas/esensi kita ini harus satu (bersatu); dalam hal yang masih terbuka/meragukan, kita berada dalam kondisi bebas; dan segala hal itu landasannya cintakasih. Di dalam harapan yang sedang membuncah saat ini, sebagaimana akan ada peringatan hari lahir Romo Mangun; memang sedang ada upaya untuk mengusung dan mengusulkan alm Romo Mangun sebagai Pahlawan Nasional seperti pendahulunya, Mgr Albertus Soegijapranata. Semoga! (red)