Jakarta, Biskom -Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mendesak pemerintah menunda Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Penundaan dilakukan hingga disahkannya undang-undang perlindungan data yang saat ini sudah dimasukkan dalam Prolegnas tahun 2019.
Mastel menyoroti beberapa revisi Peraturan Pemerintah tersebut terutama rencana perubahan beberapa pasal yang berdampak relaksasi/mengendorkan terhadap keharusan data berada di wilayah Indonesia (data localization). “Mastel mendesak Pemerintah menunda hal tersebut. Relaksasi terhadap keharusan lokalisasi data dapat berdampak sistemik pada Ipoleksosbud Hankam Indonesia di era ekonomi data. Mengingat saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus berkaitan dengan perlindungan data,” terang Ketua Umum Mastel, Kristiono dalam jumpa pers di Jakarta pada Selasa (6/11).
Usulan Mastel ini didasari beberapa pertimbangan antara lain perdebatan di level nasional mengenal perlu tidaknya dilakukan perubahan atas regulasi yang mewajibkan lokalisasi data tidak cukup sekedar mempertimbangkan aspek teknis dan keamanan. Namun harus mengintegrasikan perspektif yang lebih luas termasuk aspek kedaulatan, pertumbuhan industri nasional, perlindungan data, dampak sosial ekonomi, dan lain-lain.
Hingga tahun 2018, negara-negara di dunia masih terbagi dua bagian besar antara yang setuju lokalisasi data dan yang tidak setuju. Isunya bukan saja masalah teknis, tapi juga berkaitan dengan perlunya ditemukan keseimbangan (balancing) antara dorongan kebutuhan untuk menjadi lebih berintegrasi dengan masyarakat transnasional global secara digital di satu sisi. Di sisi lainnya, hak pemerintah untuk memiliki kendali atas wilayah teritorinya termasuk cyber, serta perlindungan masyarakat dan industri domestik nasional.
Data secara universal telah dianggap sebagal kunci ekonomi terpenting di era masyarakat digital. Bahkan dalam Majalah The Economist 2017, data disebut sebagal the new oil. “Kebijakan terkait data dapat menentukan pada seberapa besar potensi kue ekonomi yang akan diperoleh Indonesia.” Mastel menganggap relaksasi terhadap kebijakan lokalisasi data pada kondisi belum adanya undang-undang terkait perlindungan data, perlu diperhitungkan secara sangat cermat dan hati-hati terhadap potensi dampaknya.
Kebijakan dan regulasi yang terkait dengan perlakukan dan perlindungan data mencakup dimensi yang besar dan memiliki dampak sangat luas. Pengaturan data tidak cukup dengan membatasi pada isu lokalisasi data, namun juga berkaitan dengan kepemilikan data, hak untuk mengakses data, kendali atas data, hak untuk mengakses data, kendali atas data, dan pemanfaatan untuk kepentingan nasional.
Sejalan dengan pembahasan undang-undang yang terkait dengan perlindungan data, Mastel mengharapkan sikap yang diambil Pemerintah terkait hal tersebut menjadi lebih jelas dan tegas. Usulan perubahan terhadap PP 82/2012 khusus terkait kebijakan lokalisasi data, seyogyanya didahului dengan evaluasi yang mendalam, menyeluruh dan transparan terhadap efektivitas implementasi terhadap regulasi eksisting setelah berjalan beberapa tahun, termasuk aspek enforcement (pengawasan dan pengendalian).
Mengingat pentingnya kebijakan dan regulasi ini, Kristiono berharap pemerintah melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) terkait, khususnya perwakilan industri dan asosiasi dalam pembahasan dan perumusannya. “Para pemangku kepentingan akan menjadi pihak yang paling pertama mendapatkan dampak atas perubahan yang berlaku,” pungkasnya.