Jakarta, Biskom – Banyak fakta menarik muncul di industri penerbangan nasional. Beberapa di antaranya menunjukkan data soal masifnya Indonesia dalam merespon perkembangan transportasi modern. Dilansir dari data Kementerian Perhubungan, Indonesia tercatat memiliki 277 rute penerbangan yang menghubungkan 116 kota, membentang dari Sabang hingga Merauke. Bahkan, Indonesia disebut memiliki 129 rute internasional yang menghubungkan 51 kota, tersebar di 27 negara.
Bukankah hal ini fakta menarik? Tak ada lagi gelar developing country yang bisa disematkan pada Indonesia jika data pertumbuhan industri penerbangan sebesar 15-16 persen per tahun tersaji dalam jurnal internasional. Apalagi, dalam lingkup global, Indonesia masuk ke dalam daftar delapan besar negara berpenumpang pesawat terbang terbanyak di dunia pada periode 2011-2015 dengan jumlah sebesar 94,5 juta orang, versi World Bank Data. Dan, angka tersebut kini diperkirakan melonjak hingga 140 juta orang pada akhir 2018, atau peningkatan 11 persen dari pencapaian 2017 sebesar 130 juta penumpang. Sekali lagi, bukankah ini menarik?
Pesatnya pertumbuhan penumpang transportasi udara di Indonesia ini tak lepas dari sejumlah faktor. Di antaranya, bisnis low cost carrier (LCC) yang diusung maskapai penerbangan murah. Geliat industri inipun diperkuat dengan makin kecilnya gap antara pendapatan masyarakat dengan harga tiket pesawat. Alhasil, everybody can fly.
Masifnya pergerakan transportasi udara inipun mendatangkan persoalan baru. Bagaimana caranya agar “everybody can fly” dengan sarana prasarana keselamatan yang mumpuni?
Berbagai institusi pun ikut berpikir untuk sumbang saran dan inovasi untuk sektor transportasi ini. Melihat peluang ini, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero), atau biasa dikenal dengan nama INTI pun ikut urun rembug. Bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), INTI pun membidani lahirnya sebuah inovasi bernama Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B) INTI AGS-216.
Sebuah perangkat sistem yang didesain untuk menggantikan fungsi radar dalam pengelolaan ruang udara bagi transportasi sipil. Inovasi ini dibuat sebagai sebuah jawaban atas rekomendasi International Civil Aviation Organization (ICAO), sebuah organisasi penerbangan sipil internasional, yang menilai bahwa ADS-B ini berkemampuan deteksi lebih akurat dan konsisten dibanding sistem radar, yang tidak mampu mendeteksi pesawat yang terhalang awan.
Lalu, terjadilah serangkaian pengembangan perangkat sistem tersebut. Mulai dari pengembangan perangkat sistem ini secara bersama sejak 2008, penyempurnaan perangkat sistem, serta uji coba di berbagai lokasi, yaitu Semarang pada 2012 dan Bandung pada 2014. Beberapa periode kemudian, tepatnya pada 15 Maret 2017, ADS-B INTI AGS-216 meraih Sertifikat Tipe Peralatan Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, sebagai hasil rapat evaluasi persiapan sertifikasi yang digelar pada 3 Maret 2017.
Usaha pun tak berhenti ketika sertifikat sudah ada di tangan. Duet INTI dan BPPT ini lalu melakukan berbagai hal untuk menunjukkan tingkat kesiapan teknologi yang diusung. Sebut saja, pengurusan hak cipta software ADS-B Elang Flight Tracker, serta pendaftaran paten ADS-B Receiver dan trademark ADS-B INTI AGS-216.
Saking seriusnya, kedua institusi inipun terus berupaya meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri ADS-B INTI AGS-216 yang saat ini tercatat sebesar 40,63 persen, agar layak ditempatkan sebagai satu-satunya produk navigasi penerbangan karya anak bangsa, pertama di Indonesia.
Hal ini mungkin salah satu upaya INTI dan BPPT menjadi penggerak kemandirian industri navigasi di negeri sendiri.
Sebab, jika kita melihat kepada sejarah implementasi perangkat navigasi penerbangan di Indonesia, semua merupakan keterlibatan institusi asing.
Sejak diujicobakan pada 2006, melalui bantuan banyak pihak seperti perusahaan penyedia layanan navigasi penerbangan Airservices Australia, spesialis komunikasi transportasi udara Société Internationale de Telekomunikasi Aéronautiques (SITA), dan perusahaan sistem elektronik dunia Thales Group, navigasi penerbangan di Indonesia masih jadi bancakan perusahaan asing. Setidaknya, ada 31 Stasiun Darat ADS-B dengan komposisi 10 lokasi terintegrasi dengan Jakarta Air Traffic Service Center (JATSC) dan 21 lainnya terintegrasi dengan Makassar Air Traffic Service Center (MATSC). Namun, ADS-B yang terpasang tersebut merupakan produk impor.
Padahal, Indonesia memiliki 295 bandara yang tersebar di seluruh Indonesia meliputi 13 bandara di bawah pengelolaan PT Angkasa Pura I, 14 bandara di bawah PT Angkasa Pura II, dua bandara di bawah pengelolaan TNI, 239 bandara di bawah Unit Penyelenggara Bandar Udara, dan 27 bandara di bawah Unit Pelayanan Teknis (UPT) Daerah. Dari total 295 yang ada, sekitar 255 bandara non-radar di antaranya berpotensi membutuhkan perangkat ADS-B untuk Mini ATC dan Surface Movement Monitoring, serta penambahan Ground Station di lokasi lain.
Di sinilah, produk navigasi penerbangan buatan anak negeri seharusnya bisa unjuk gigi. Toh, dari serangkaian tahapan pengetesan di bandara, serta Laboratorium Navigasi BPPT dan stasiun darat di Menara Navigasi BPPT yang berlokasi di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong selama kurang lebih satu tahun telah membuktikan pemenuhan standar perangkat dan sistem dalam dunia navigasi penerbangan secara internasional. Artinya, ADS-B INTI AGS-216 ini layak tampil dan berkontribusi dalam bancakan navigasi penerbangan.
Semua pencapaian itu tak lepas dari perhatian pemerintah, dalam hal ini dijalankan melalui Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang mendukung penuh pengembangan perangkat sistem ADS-B INTI AGS-216 ini lewat pendanaan inovasi industri. Dan, pintu itu makin terbuka lebar, saat ADS-B INTI AGS-216 meraih kontrak Pengadaan dan Pemasangan ADS-B di Enam Lokasi di Papua serta Pengadaan dan Pemasangan ADS-B di Jayapura untuk menggarap navigasi penerbangan di bandara yang berada dalam wilayah pengelolaan Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia alias AirNav Indonesia, pada 09 Mei 2018.
Tak lama berselang, produk inovasi inipun meraih penghargaan prestise dalam Lomba Inovasi Produk Nasional dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas), tepat satu tahun delapan bulan setelah perolehan Sertifikat Tipe Peralatan dari regulator.
Kelak, kita tak hanya bicara soal keunggulan “barang luar”, tapi juga keberpihakan terhadap produk “made in Indonesia” yang memiliki kualitas sama dengan perangkat buatan luar negeri. Dan, kelak, kita juga bisa membayangkan betapa Indonesia bisa berjaya menjadi tuan rumah di negerinya sendiri serta khususnya misi INTI untuk menjadi penggerak utama bangkitnya industri dalam negeri . *** (red)