Jakarta, Biskom – Hakim Dr. Binsar M. Gultom, nama tersebut sepertinya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia, sebab Hakim Dr. Binsar M Gultom merupakan seorang dari anggota majelis hakim yang pernah menangani perkara kasus Jessica Kumala Wongso (terpidana perkara kopi berisi sianida) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang beritanya sempat menjadi sorotan masyarakat luas.
Hakim yang mempunyai sederetan titel yakni Dr. Binsar M. Gultom SH SE MH ini sedang melakukan gugatan terhadap Komisi Yudisial di PTUN Jakarta terkait dengan proses seleksi penerimaan Calon Hakim Agung.
Pada persidangan PTUN Jakarta Senin (18/2), Penggugat Dr. Binsar M. Gultom Hakim Tinggi Bangka Belitung didampingi kuasa hukumnya Dr. Irman Putrasidin, Cs melawan Komisi Yudisial (KY) dengan menghadirkan ahli dari Penggugat Dr. Margarito Kamis berlangsung alot dan seru, karena dari pertanyaan Penggugat, Tergugat dan Majelis Hakim yang bertubi-tubi kepada ahli terkait proses penerimaan Calon Hakim Agung (CHA) yang dinilai cacat hukum sejak dimulainya pendaftaran oleh KY selaku Tergugat telah cacat hukum. Hal ini dijelaskan oleh ahli Tata Negara Dr. Margarito Kamis didepan majelis Hakim TUN yang diketuai oleh Nelvy Christine, SH, MH.
Dalam tanggapannya Dr. Margarito menyatakan, sekalipun KY berwenang menyeleksi CHA sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi Pasal 24B UUD 1945 maupun UU Komisi Yudisial No. 18/2011 bukan berarti KY seenaknya meluluskan CHA ditahapan proses seleksi, ketentuan UU yang dimiliki oleh KY tersebut menjadi “rontok” dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 53/2016 tersebut.
Sebab menurut putusan MK tersebut pada pertimbangan hukum halaman 87 dan 88 menyebutkan bahwa KY selaku Tergugat “harus mempedomani kebutuhan Hakim Agung dari Mahkamah Agung sebagai user (pengguna) Hakim Agung. Amar putusan Hakim itu tidak muncul dari langit tanpa adanya pertimbangan hukum. Dan putusan hakim MK itu mengikat secara hukum yang harus ditaati oleh KY.
Namun jawaban ini ditepis oleh Tergugat dengan alasan MA tidak mengirimkan daftar latar belakang nama ahli yang dibutuhknan oleh MA, yang dijawab oleh Margarito, itu masalah teknis, setidaknya kedepan bisa diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
Menurut Margarito, sebagai pengejawantahan dari putusan MK ini terbit permintaan kebutuhan Hakim Agung melalui surat Wakil Ketua MA No. 04/2018, supaya KY menyeleksi CHA 7 orang dari hakim karier untuk mengisi kamar perdata, pidana, agama dan militer, sedangkan untuk kamar Tata Usaha Negara (TUN) dibutuhkan 1 orang dari non karier yang berasal dari ahli pajak.
Akan tetapi menurut pertanyaan dari Penggugat kepada ahli Dr. Margarito, tetap saja Tergugat meloloskan para CHA dari jalur non karier untuk mengisi kamar-kamar yang ada di MA, sehingga posisi dan kedudukan CHA non karier menjadi tereliminasi, bahkan harapan mereka menjadi Hakim Agung terganjal, akhirnya dijawab oleh Margarito, perbuatan KY yang meloloskan CHA dari non karier yang tidak dibutuhkan oleh MA telah melanggar hukum.
Menurut Margarito, KY harus tunduk dan mentaati putusan MK No. 53/2016 tersebut, karena putusan MK mengikat kepada semua pihak khususnya kepada KY dan MA. Jika putusan MK itu tidak dipatuhi, maka KY disini telah melanggar hukum, dengan sendirinya obyek gugatan Penggugat, yakni Pengumuman hasil seleksi CHA dibidang administrasi dan kualitas adalah “Cacat Hukum” sepanjang diloloskannya CHA dari non karier yang tidak dibutuhkan oleh MA.
Ketika majelis hakim mengklarifikasi kepada Margarito, berarti para CHA dari jalur non karier yang diloloskan Tergugat pada tahap awal yang akhirnya pasti digugurkan pada akhir proses seleksi jadi merugikan non karier ya, ditimpali oleh Margarito dengan jawaban spontan ya, ya.
Ketika Tergugat mempersoalkan legal standing Penggugat terkait gugatan ini kepada KY yang seharusnya yang menggugat adalah MA selaku lembaga Pengusul cq. Ketua PT. Babel, Margarito menepis dengan jawaban ya…, Penggugat mempunyai hak gugat (legal standing) sesuai Pasal 87 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Gugatan ini sudah tepat diajukan kepada PTUN Jakarta, bukan kepada lembaga legislative.
Sidang yang berlangsung sejak Pk 13.00 berjalan cukup panjang dan baru selesai sekira Pk 15.20 serta sidang akan dilanjutkan pada hari Senin depan, tanggal 25 Februai 2019 dengan agenda sidang menghadirkan saksi fakta dari pihak Penggugat. (Hoky & Juenda)