Jakarta, BISKOM – Agenda sidang pembelaan atau pledoi yang akan disampaikan Terdakwa TY terpaksa ditunda ke hari Kamis (15/8). Pasalnya, Terdakwa belum siap untuk membacakan pembelaannya dimuka persidangan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada hari Kamis (8/8).
Kepada awak media, Terdakwa mengungkapkan keanehan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Moh. Januar Ferdian, SH. dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat yang dinilainya banyak kejanggalan, sehingga dirinya merasa agak bingung. Pertama, Jaksa sudah menuntut dua minggu lalu, namun ia belum mendapatkan berkas perkara secara lengkap.
“Saya itu sudah dituntut dua minggu yang lalu oleh JPU. Namun, hingga kini sudah mau pembelaan (pledoi) saya belum menerima berkas perkara secara lengkap, meskipun saya sudah meminta secara lisan berulang kali maupun secara tertulis. Sehingga Hakim memerintahkan Panitera Pengganti untuk meng-copy berkas perkara secara lengkap untuk diberikan kepada saya.” katanya.
Terdakwa menambahkan; “Baru hari Rabu (7/8) saya diberikan waktu oleh JPU untuk melihat dan mencocokan barang bukti (BB). Padahal, saya sudah minta sejak 4 (empat) bulan lalu, tapi baru saat ini dapat melihat barang bukti, sedangkan tuntutan telah dibacakan JPU dua minggu lalu.” Ungkap Terdakwa usai menjalani sidang di PN JakPus.
Terdakwa menyampaikan bahwa, saat melihat barang bukti yang ada pada JPU, yaitu surat invoice, surat jalan, surat laporan keuangan dan lain-lainnya, ternyata seluruhnya tidak ada satupun yang asli. Semuanya hanya foto copy saja, dan diakui oleh JPU bahwa memang yang diterima dari pihak penyidik seperti itu, artinya seluruhnya foto copy saja.
Terdakwa menegaskan bahwa barang bukti yang diperlihatkan oleh JPU diduga fiktif dan diduga direkayasa, karena format surat-suratnya berbeda serta bukan merupakan format dokumen yang biasa digunakan kedua belah pihak perusahaan yang sebelumnya sering melakukan transaksi.
Terdakwa juga mengatakan, “Seandainya benar ada korbannya, tentu korbannya adalah perusahaan, sehingga pada saat Pelapor Naoki Wada didengar kesaksiannya dalam persidangan dan mengaku sebagai Wakil Presiden Direktur PT Matsuzawa Pelita Furniture Indonesia (MPFI), telah saya dibantah, dengan cara memperlihatkan Akte Perusahaan, dimana pada Akta Perusahan sudah tidak ada nama Pelapor Naoki Wada, saya juga telah memperlihatkan Surat Pengunduran Diri Pelapor Naoki Wada dari perusahaan, sehingga sesungguhnya Pelapor Naoki Wada tidak dapat mewakili Perusahaan lagi.” Ungkap Terdakwa.
“Jadi apabila Pelapor Naoki Wada mengaku bahwa dia adalah seorang Direksi mohon agar dapat dibuktikan keabsahan pengakuan tersebut, namun apabila tidak terbukti atau tidak dapat menunjukkan bukti, maka kami harap Majelis Hakim dapat bersikap tegas dan adil untuk menuntut saksi pelapor tersebut telah memberikan keterangan palsu di persidangan, selanjutnya segera diproses secara hukum yang berlaku.” pungkasnya.
Terdakwa juga mengatakan, “Kejanggalan Kedua yaitu Surat Dakwaan JPU yang diberikan kepada Majelis Hakim (hard copy), lalu yang diberikan kepada Panitera Pengganti (soft copy) serta yang diberikan kepada Terdakwa (hard copy), dalam bentuk cetak (hard copy) ataupun soft copy terdapat 3 versi yang berbeda, hal ini jelas merupakan kejanggalan yang serius, contoh yang mudah diketahui adalah, tanggal surat dakwaan yang berbeda-beda, bahkan Surat Dakwaan yang diterima oleh Terdakwa tidak bernomor dan tidak bertanggal, lalu perbedaan yang signifikan adalah Terdakwa-nya atas nama orang lain, bukan atas nama saya, kemudian nama orang yang tercantum dalam Surat Dakwaan, berbeda dengan orang yang tercantum didalam Surat Tuntutan.”
Menurut Terdakwa, sesungguhnya ini merupakan fakta tentang ketidakcermatan yang fatal dari JPU dalam membuat Surat Dakwaan, Terdakwa mengatakan bahwa mungkin JPU terlalu letih dan terlalu lelah dengan ada banyak dokumen yang perlu dipersiapkan, atau mungkin ada tekanan-tekanan tertentu, untuk itu Terdakwa berharap agar Majelis Hakim dapat memperhatikan perihal perbedaan versi surat dakwaan ini dengan serius karena ini dapat juga dianggap sebagai bentuk Contempt of Court atau Penghinaan kepada Peradilan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Terdakwa meminta agar Majelis Hakim memberikan waktu untuk mencocokan Surat Tuntutan dari JPU yang ada pada Hakim dengan Surat Tuntutan Jaksa yang ada pada Terdakwa. Kalau isi Surat Tuntutan berbeda seperti halnya Surat Dakwaan, maka bagaimana Terdakwa bisa melakukan pembelaan, Pembelaan Terdakwa jadi pepesan kosong nantinya apabila apa yang Terdakwa sanggah di Tuntutan, ternyata hal tersebut tidak ada, atau berbeda dengan Surat Tuntutan yang ada di Hakim.
Terdakwa menegaskan pula, “Faktanya surat Tuntutan yang diberikan oleh JPU kepada Terdakwa, tidak memiliki nomor halaman, keterangan-keterangan tidak diberi nomor (hanya menggunakan bulletpoint), dan isinya bukan merupakan keterangan Saksi yang disampaikan di dalam persidangan, melainkan JPU mengcopy & paste BAP saja.
Terdakwa meminta Majelis Hakim untuk memerintahkan JPU memperbaiki format Surat Tuntutan yang dibuat dan diberi nomor halaman, sehingga Terdakwa dapat memberi rujukan yang cermat, tepat, dan jelas dalam Surat Pembelaan yang akan dibacakan.” Ungkap Terdakwa.
Permintaan tersebut sempat dijawab oleh Hakim Ketua Saifudin Zuhri SH., M.Hum “Kita gunakan berkas yang ada di saya, PP nanti akan berikan berkas perkara kepada saudara Terdakwa.”
Kejanggalan ketiga lanjut Terdakwa, “Bahwa didalam surat tuntutan JPU yang diterimanya, ternyata ada 4 (empat) nama-nama saksi meringankan (a de charge) yang sengaja dihilangkan. Padahal ke-empat saksi tersebut hadir dalam persidangan dan telah dimintai keterangannya dalam persidangan, lebih aneh lagi, yaitu didalam surat tuntutan JPU tersebut terdapat nama saksi fiktif, karena nama saksi tersebut tidak pernah hadir didalam persidangan, akan tetapi ada tertera didalam surat tuntutan JPU dan ditulis memberikan keterangan dalam persidangan.” Papar Terdakwa.
Jadi menurut Terdakwa, “Dari fakta yang ada sudah sangat jelas bahwa diriya tengah menghadapi kriminalisasi bahkan sempat ditahan. Hal itu diperkuat juga dengan bukti-bukti yang dipegang JPU dari pelapor semuanya bukan asli dan bukti-bukti patut dikesampingkan sejak penyidikan, karena selain dibuat secara sepihak, termasuk tanggal-tanggalnya dalam surat dakwaan banyak yang tidak bersesuaian.”
Terdakwa juga mengungkap bahwa Pelapor Naoki Wada yang melaporkannya ke penyidik tidak memiliki legal standing sebagai Pelapor. Sebab dia tidak memiliki surat kuasa dari perseroan maupun dewan direksi ataupun dewan komisaris. Tapi surat kuasa yang ada pada Penyidik, dibuat dan ditandatangani sendiri dengan mengatasnamakan perusahaan, sehingga legal standingnya saksi Pelapor Naoki Wada itu apa dan dari siapa?
Lucunya lagi, pelapor diambil BAP nya oleh penyidik setelah pelapor dikeluarkan dari perusahaan. Jadi BAP pelapor seharusnya cacat hukum dan dengan demikian, batal demi hukum.
Untuk diketahui, Terdakwa TY oleh JPU didakwa melanggar Pasal 372 dan 378 KUHP yang merugikan korban PT Matsuzawa Pelita Furniture Indonesia (MPFI), dengan jumlah kerugian sebesar Rp1,2 miliar dan dituntut JPU dengan tuntutan penjara selama 2 tahun penjara, namun fakta-fakta dipersidangan terungkap banyak sekali kejanggalannya. (Hoky)