Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mendorong era industri 4.0 dimasuki oleh semua pihak antara lain pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan pendidikan. Era ini mencakup implementasi internet of thing (IoT), big data, augmented reality (AR), dan cyber security.
Kemudian, artificial intelligence (AI), addictive manufacturing, simulation, system integration, dan cloud computing.
Berbagai kendala dihadapi untuk implementasi teknologi tersebut, padahal itu telah digaungkan sebelum penerapan era industri 4.0 dicanangkan presiden. Teknologi yang dimaksud adalah penggunaan IoT secara penuh di pemerintah provinsi (pemprov).
“Tantangannya ioT masih sebagai sesuatu yang mahal, yakni biaya pemakaian sensor masih mahal dan biaya konektivitas juga masih mahal,” kata I Ketut Agung Enriko, Senior Manager IoT Platform PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk ditemui Majalah Biskom usai ‘Seminar IoT and Cyber Security Strategy 2020’ di Jakarta pada Kamis (12/12/2019).
Telkom menyodorkan Low Power Wide Area Network (LoRa) sebagai salahsatu jalan keluar mengatasi persoalan tersebut.
Infrastruktur ini digunakan sebagai komunikasi sensor melengkapi jaringan telekomunikasi generasi keempat untuk suara dan data. “Kami akan mengimplementasikan pada 2020,” ujarnya.
Kelebihan yang dipunyai LoRa, sehingga bisa memecahkan persoalan penerapan IoT adalah daya yang disedot jaringan ini rendah, jadi bisa menghemat pemakaian, Jadi, ini bisa menghemat baterai dua sampai lima tahun.
Selain itu penggunaan frekuensi untuk LoRa tidak dikenakan biaya oleh pemerintah. Ini berada di 920-923 Mega Hertz (Mhz).
“Jadi solusi IoT tidak hanya terjangkau bagi kalangan pemerintahan, swasta, tapi juga oleh masyarakat. Kalau pemakaian data jaringan generasi keempat (4G) berkisar Rp50.000-Rp100.000 per bulan, maka dengan LoRa hanya 10% dari biaya itu sebulan,” jelasnya.
Belum Tahun Depan
Saat ditanya kepada Ketut apakah solusi ini segera dapat menunjang implementasi Electronic Road Pricing (ERP) sebagai salah satu bentuk penerapan IoT di DKI Jakarta, dijawabnya tidak tahu sama sekali.
Karena, apa penyebab ERP belum bisa diterapkan di Jakarta sampai sekarang tidak diketahuinya secara pasti. Padahal, ini telah digulirkan Pemprov DKI Jakarta sejak 10 tahun lalu.
“Mungkin menunggu persetujuan dari DPR dan instansi yang bertanggungjawab, karena implementasi ini menimbulkan dampak yang besar,” jelasnya.
Contohnya, pemilik atau pengguna kendaraan pribadi mungkin diminta membeli perangkat sensor yang dipasang pada dashboard kendaraannya. Mereka harus menanggungnya lantaran pemerintah diperkirakan tidak memiliki dana cukup untuk itu.
Ketut menyarankan implementasi ERP mesti disertai aturan yang jelas dikeluarkan pemerintah dan DPR. Kedua pihak dapat menyetujui ketentuan ini guna mengurangi kepadatan kendaraan di Jakarta.
“Kota-kota lain juga perlu menerapkannya yakni Bandung (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara), dan Depok (Jawa Barat),” tuturnya.
Sekedar informasi, Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPJT) menyatakan ERP belum bisa diterapkan Pemprov DKI akibat aturan ini mesti disesuaikan dengan aturan lainnya seperti kebijakan kendaraan berplat ganjil-genap. Jadi, ini belum bisa diterapkan pada tahun depan.
Aturan lainnya adalah Undang-Undang (UU) Pajak yang berhubungan dengan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Terakhir adalah Undang-Undang (UU) nomor 5 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Penerapan ERP juga mesti didukung pemasangan alat terkait di jalan-jalan nasional.
Sebelumnya, Telkom pernah diberikan kesempatan oleh Pemerintah Pusat mengujicoba ‘Obu’ di gerbang jalan tol.
Penggunaan perangkat dan aplikasi ini supaya pengendara jalan tol tidak perlu membayar tarif tol secara tunai kepada petugas tol atau pengendara jalan menempelkan kartu uang elektronik pada tiang gerbang tol untuk membayar tarif tersebut.
“Namun ini tidak diteruskan mengapa, padahal itu bagus untuk mengurangi antrian di gate tol,” paparnya.
Dia menduga itu mungkin akibat regulasi ini belum disetujui dan supply chain yang belum jelas. Padahal, itu mendapat respon baik dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan.
Walaupun demikian, Ketut mengungkapkan pemakaian solusi IoT terus dijajakan kepada sektor pemerintahan seperti solusi disaster management (penangangan bencana).
Untuk ini sedang dibicarakan dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Waspadai Ancaman
Pada kesempatan yang sama Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi Komunikasi Nasional (Aptiknas) DKI Jakarta, Fanky Christian, menyoroti ancaman keamanan pada implementasi IoT.
Hal itu terjadi pada saat pengiriman data yang dilakukan oleh perangkatnya. “Implementasi IoT menimbulkan risk untuk urusan privacy dari penggunaan wifi publik, karena data seseorang bisa dari perangkat orang lain,” tandasnya.
Tantangan lain yang dihadapi dari penerapan IoT adalah sumber daya manusia (SDM) lokal belum mampu memproduksi piranti keras secara cepat. Mereka hanya dapat menciptakan aplikasi tidak lama.
Dengan begitu Aptiknas konsen mengembangkan SDM dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan dan seminar di berbagai kota di Tanah Air. Langkah ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi pemerintah.
Menyoal pemakaian low power pada penerapan IoT ditanggapi Fanky bahwa itu sedang berkembang di negara-negara Eropa. Di sana itu antara lain dipakai pada parking monitoring system. “Mereka pasang alat itu dengan baterai bisa bertahan sampai 15 tahun,” tuturnya. (moc)