Jakarta, Biskom- Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dalam pola kerja dan berkomunikasi yang semakin tergantung pada pemanfaatan internet. Diramalkan, pola, volume komunikasi, dan intensitas transfer data yang bergantung pada pemanfaatan internet tersebut akan tetap terjadi dan bahkan semakin besar setelah pandemi Covid-19.
“Pasca pandemi Covid 19 ancaman siber berupa serangan terhadap infrastruktur seperti data, proses transmisi data, dan proses penyimpanan data akan semakin masif seiring dengan terbentuknya budaya baru yang akan menjadi norma dalam kehidupan masyarakat,” kata Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian saat membuka Webinar Covid-19 “The New Norm in Cyber Security, Data Science dan Artificial Intelligence” di Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Pandemi Covid-19 bisa dikatakan merupakan sebuah disrupsi pada peradaban manusia. Kondisi ini tidak pernah diramalkan akan terjadi pada abad ke-21 oleh para analis dan pakar kesehatan di seluruh dunia dan para pengiat big data serta artificial intelligence (AI). Saat ini, teknologi informasi dan komunikasi terkait erat dengan upaya penanganan sekaligus salah satu jawaban dari tantangan untuk bertahan hidup semasa pandemi Covid-19.
Hinsa mengatakan, hingga kini belum ada satu negara pun yang mengaku mempunyai tindakan yang tepat terhadap pandemi Covid-19. Setiap negara saling belajar dari best practice negara lainnya untuk mendapatkan formula tindakan yang tepat pada pandemi tersebut. Protokol kesehatan yang selama ini disusun dan diberlakukan secara fleksibel masih terus diperbarui menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terus berubah setiap saat.
“Penerapan protokol kesehatan, antara lain work from home, study from home, physical distancing, semi-lockdown, cyber security dan sebagainya, telah mengubah pola hidup dan pola kerja seluruh bangsa di dunia,” kata Hinsa.
Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dalam pola kerja dan berkomunikasi yang semakin tergantung pada pemanfaatan internet. Untuk itu, keamanan dan ketepercayaan dalam bertransaksi melalui ekosistem siber harus terus disiapkan dan ditingkatkan mulai dari sekarang. Termasuk regulasi, etika serta kesadaran keamanan para pemangku kepentingan keamanan siber sehingga ruang siber aman dari potensi kejahatan dan insiden siber.
“BSSN sebagai pemangku kepentingan keamanan siber Indonesia melaksanakan pengamanan dari ujung-ke-ujung (end-to-end security) mulai dari lapisan data (data security) hingga lapisan paling luar (perimeter security),” tegas Hinsa.
Hinsa menyatakan sebagai regulator kebijakan keamanan siber, BSSN memerlukan kemitraan yang kolaboratif dari pelaku bisnis ekosistem keamanan siber, salah satunya Asosiasi Big Data Indonesia(ABDI) yang berkecimpung di industri bidang data technology, data analytics, data controller dan data science.
Dalam strategi keamanan siber nasional, BSSN menempatkan diri sebagai mitra kolaboratif bagi seluruh pemangku kepentingan keamanan dan ekosistem siber. Partisipasi asosiasi ekosistem keamanan siber seperti ABDI sangat diperlukan untuk memperkuat keamanan siber khususnya terkait keamanan transaksi e-commerce dan keamanan informasi untuk membangun ekosistem siber yang aman dan tepercaya.
“Tata kelola keamanan siber yang tepercaya (trusted) tidak mungkin hanya dijalankan dan bergantung pada BSSN semata melainkan memerlukan dukungan dari semua stakeholder keamanan siber, hal tersebut merupakan salah satu tantangan besar literasi keamanan siber Indonesia” tukas Hinsa.
Selanjutnya, Hinsa berharap di era new norm ini, Indonesia terus mempersiapkan diri, terutama dalam menghadapi tantangan dan ancaman yang ada di ruang siber. Kemandirian dari segi tata kelola pada aplikasi, cloud dan data center bisa diwujudkan melalui pembuatan produk hasil karya mandiri dalam negeri. Era new norm harus dipandang sebagai sebuah peluang dimana Indonesia bisa semakin mandiri dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi.
“Saya berharap ABDI sebagai pelaku industri yang sudah berkecimpung dalam industri aplikasi dan infrastruktur yang berkaitan dengan data science dan AI dapat menjadi center of excellence bidang big data dan AI dan dapat terus mendorong tumbuhnya pengembang aplikasi lokal ” tutur Hinsa.
Hinsa berharap diskusi yang dilakukan dalam webinar dapat merumuskan suatu model norma baru dalam etika berkomunikasi yang mengarah kepada tanggung jawab setiap pihak dalam hal keamanan siber, khususnya terkait perlindungan data pribadi dan data lain yang dikategorikan sebagai data sensitif.
Kegiatan webinar juga diikuti oleh Bambang Brodjonegoro (Menristek/BRIN), Hammam Riza (Kepala BPPT), Indra Utoyo (Direktur BRI), Nathalya Wany Sabu (EVP of Hallo BCA), Rudi Rusdiah (ABDI Chairman), Jamulil Izza (Chairman APJII), Edwin Lim (Country Director Fortinet), On Lee (CTO of GDP Venture, CEO & CTO GDP Lab), Sonny Soehardjianto (Zoom Indonesia) dan Deni Mahdiana (Dekan FTI Universitas Budi Luhur).