Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Oleh Zainal Bintang

Jakarta, BISKOM – VIRUS corona baru atau Covid-19 yang kini menyebar pada 212 negara di dunia, termasuk Indonesia menimbulkan cultural shock (goncangan budaya).

Virus misterius yang mematikan ini pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok Januari 2020. Peradaban lama terpaksa bongkar pasang. Manusia meninggalkan tata cara normal memasuki tatanan kehidupan dengan “normal baru” (new normal) yang sesungguhnya “abnormal”.

Culture shock disebabkan oleh perbedaan yang mencolok antara budaya satu dan yang lain. Menggambarkan respons yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang- orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Meskipun demikian culture shock bukanlah istilah klinis ataupun kondisi medis. Istilah ini pertama kali diperkenalkan antropolog Kalervo Oberg (1960) kelahiran Nanimo, Kanada 15 Januari 1901.   

Biang utama goncangan budaya adalah pshycal distancing (penjarakan badan) secara total. Memaksa masyarakat mengikuti ketentuan protokol standar organisasi kesehatan dunia (WHO). Diharuskan: menjaga jarak; pakai masker; cuci tangan; makanan bernutrisi tinggi dan tidak boleh berkerumun.

Ketentuan tersebut di atas adalah kemewahan yang mahal bagi puluhan juta pekerja informal dan tenaga kasar yang hidup berhimpitan di kamar sewaan yang sempit di kota- kota besar yang mendadak jatuh miskin. Mereka bukan cuma kehilangan pekerjaan, juga kehilangan harapan.

Rakyat kecil itu jatuh bangun melawan petugas untuk mempertahankan hidup keluarganya. Mereka yang berdarah-darah di lapangan. Nekat berdagang di kaki lima. Kucing-kucingan nekat mudik. Nestapa puluhan juta rakyat yang jatuh miskin korban wabah memilukan hati.

“Hantu” traumatis membayangi kehidupan paska pandemi.
Tekanan kemiskinan menjadi beban moril dan materiel yang fatal akibat hilangnya pekerjaan sebagai sumber nafkah penghidupan keluarga.
Proses kemiskinan sosial, kemiskinan spiritual dan kemiskinan material tidak terhindarkan.

Pertama, adanya pemiskinan sosial akibat peniadaan salaman dan cipika-cipiki serta hilangnya lingkungan lama seperti tempat kerja, warung kopi publik dan ruang komunikasi fisik lainnya. Kedua, pemiskinan spiritual (religi) oleh absennya intensitas berjamaah dirumah ibadah. Ketiga, pemisikinan fisik atau material karena hilangnya pekerjaan dan tempat kerja sebagai sumber nafkah.

Goncangan budaya berpotensi bereskalasi menjadi nightmare (mimpi buruk) yang panjang. Terapi pemulihan traumatik dibutuhkan. Tapi tidak mudah. Karena sparepartsnya (suku cadangnya) bersifat tangible (aset fisik) sudah berantakan. Satu-satunya kekuatan yang tersisa adalah wilayah intangible (aset kejiwaan).

Memperhatikan sejumlah analisis dan komentar kritis di ruang publik, pukul rata mengatakan, pada momen krusial seperti saat inilah kehadiran negara yang esensial mutlak adanya. Negara tidak boleh gegabah dan seenaknya mengubah-ubah aturan. Nyawa manusia tidak dapat dijadikan permainan kekuasaan dan komoditas pertarungan politik jangka pendek. Politik negara adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itu perintah konstitusi.

Terlalu mahal bangsa ini untuk diserahkan kepada pengendali kekuasaan yang tidak memilik bobot kapasitas dan minus sensitivitas. Kering empati dan abai terhadap nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Rakyat seharusnya jangan mau menyerah kepada wabah korona. Juga jangan mau menyerah kepada janji kosong kampanye yang sarat muslihat.

Para pemerhati demokrasi secara lebih tegas menekankan kecamannya atas praktik eforia politik elektoral yang mendewakan materi di era reformasi. Berakibat menggiring rakyat ke dalam perangkap konglomerat pemilik modal besar. Menjadi alat pelegitimasi regulasi siluman yang digodok di Senayan.

Daripadanya kekayaan sumber daya alam bangsa ini dengan mudah dimangsa mantra sakti regulasi abal-abal bikinan politisi gadungan tanpa rasa bersalah. Kecaman semacam ini nyaris tiap hari menghiasi halaman muka media mainstream maupun online apalagi medsos-medsos.

Lebih jauh ditegaskan, ini yang menjelaskan mengapa penanganan pandemi corona tidak komprehensif, tidak terpadu dan tidak sistematis.

Merefleksikan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah di dalam  membangun sistem perlindungan dan mitigasi dini bangsa dari kemungkinan berbagai ancaman masif dan sistemik.

Sebagaimana banyak diulas sejumlah pakar ekonomi dan keuangan yang menyebutkan perhatian negara yang besar lebih ditujukan untuk memburu investasi (ekonomi) yang ramah konglomerat, meminggirkan penanganan nasib rakyat kecil. Menjauhkannya dari semangat kekeluargan ekonomi kerakyatan.

Bangsa ini dianalogikan terperangkap ke dalam sahwat ekonomi neolib (neo liberal) alias pasar bebas, mainan para taipan penggerus sumber daya alam dan pembobol kredit jumbo di bank serta pengemplang pajak yang licin bagai belut yang bermarkas di Negara Surga Pajak (Tax Haven Island). Inilah pintu masuk dominasi oligarkis atas kedaulatan ekonomi nasional. Mendorong tingginya ketimpangan sosial yang menempatkan rakyat menjadi jongos di negeri sendiri. Idul Fitri sebagai hari kemenangan adalah ruang kontemplatif untuk meraih hidayah-Nya.

Momentum perenungan yang membuka ruang konsolidasi multi energy, tempat lahirnya kekuatan baru pembebas negeri dari pandemi lain yang lebih berbahaya: oligarkis itu!

Meminjam istilah yang sering dipakai sejumlah tokoh kritis, menyebutkan oligarkis adalah nama komplotan  konglomerat a-nasionalis mitra elite politik kerabat Istana.  

Sambil menunggu kumandang azan Magrib pertanda buka puasa, diam-diam bayangan wajah penyair Chairil Anwar yang meleburkan diri ke dalam “doa”,  tiba-tiba melintas dan membisikkan potongan sajaknya:

Tuhanku…aku hilang bentuk. Remuk.

Tuhanku….aku mengembara di negeri asing.

Tuhanku…di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling…!!!

Selamat merayakan Idul Fitri 1441 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.