Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Manakala disimak lebih cermat pesan yang terekspresikan di dalam pementasan teater “Caligula”, yang terungkap adanya penyalahgunaan kekuasaan yang ditutupi secara terus menerus. Itulah yang mau dikatakan sang pengarang Albert Camus. Maka “Caligula” menjadi media pengungkap secara verbal tentang bagaimana seorang penguasa mengunakan semua cara untuk melanggengkan kekuasaannya dan membangun citra diri sebagai pemegang kendali tertinggi di negerinya.

“Caligula” mempertontonkan bagaimana perilaku seseorang yang berada di puncak kekuasaan hendak melakukan banyak hal sekaligus. Menginginkan perintahnya dipatuhi; menghendaki recananya tidak dihalangi; mengesankan diri orang kuat. Melalui semua signal simbolik itu sesungguhnya yang terlihat tapi tersembunyi: menutupi semua kelemahannya. Walaupun malah mencuat keseombongan dan kesewenang-wenangan, yang berjarak sisa satu senti dari sifat otoriter.

“Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu….” Kata Camus. Watak seorang penguasa otoriter seperti “Caligula” tiap saat dijumpai dari masa ke masa. Otoriterianisme itu memang adalah sebuah keniscayaan yang melekat di dalam jiwa dan sanubari seseorang yang bernama manusia. Itu sebabnya sebaris sajak Mohammad Iqbal sastrawan dunia asal Pakistan Mohammad Iqbal (1877 – 1938) menjadi penting dibaca ulang: “jika  kekuasaan kotor, puisi membersihkannya”. Disamping diperlukannya koridor undang-undang dan ketatanegaraan.

Ketika sejumlah pejabat penting Istana mengingatkan kepada “Caligula”, tentang telah banyak kebijakan yang diambilnya tidak sejalan dengan nalar, dia dengan enteng tapi pasti menjawab: “Kuulangi lagi Karena itulah, sekarang aku menjelajah apa yang dianggap orang tidak mungkin. Atau lebih baik kukatakan begini. Aku sedang berusaha memungkinkan yang tidak mungkin”

Menanggapi reaksi orang dekatnya di Istana yang meragukan keberhasilan beberapa rencananya yang dinilai tidak masuk akal, “Caligula bergeming. Dia merasa kekuasaan yang diperolehnya sebagai kaisar bersifat mutlak. Dia menganggapnya itu adalah sebuah mandat mutlak yang mensejajarkan dirinya sama dengan “Tuhan” atau Dewa.  “Aku sangsi apakah penemuan ini akan dapat membuat kita bahagia?” kata salah seorang pejabat Istana memberi tanggapan atas apa yang direncanakannya.” Caligula” dengan dingin menjawab, “aku pun begitu. Tapi kukira kita harus menjalaninya”.

Tanpa perlu pendapat lebih jauh kerabatnya itu, “Caligula” dengan  suara lantang mengatakan, “Dan aku telah memutuskan untuk merubahnya. Aku akan memberikan sesuatu yang besar kepada zaman ini. Sama rata. Dan kalau semuanya telah disamaratakan, yang mustahil telah turun ke bumi dan bulan telah ada dalam tanganku barangkali aku akan berubah bersama dunia. Manusia tidak akan lagi mengenal mati, dan berbahagialah selalu”.

Semenjak sembuh dari serangan penyakit aneh, “Caligula’  seperti di kejar-kejar oleh suatu kehendak yang sepertinya harus mutlak didapatkannya.  Yakni ingin mendapatkan bulan! Suatu malam, ketika dia kembali ke Istananya, setelah bepergiannya tanpa diketahui di tempat-tempat mana saja dia bersitirahat, ketika menghilang selama tiga hari, dia tiba-tiba histeria dan berucap,  “Aku inginkan bulan”. Kata-kata mustahil itu terlontar begitu di hadapan pejabat penting. Intinya “Caligula” menghendaki bulan harus tergenggam olehnya.

“Dan cinta? Apa kau akan mengingkari cinta?” ucap perempuan yang menjadi salah seorang isterinya yang setia mendampinginya. “Caligula” marah dan meledak : “Cinta? Aku sudah tahu apa yang disebut cinta omong kosong! Pengawal tadi benar, bahwa yang maha penting cuma perbendaharaan. Puncak dari segalanya. Dan kini aku mau hidup, hidup yang sebenarnya. Dan hidup, sayang, adalah lawan dari cinta. Aku tahu apa yang kukatakan. Aku undang kau untuk menghadiri sebuah pertunjukan yang paling indah, suatu kejadian besar”.

Nafsu materialistik telah mengangkangi jiwa “Caligula”, seiring  dengan adanya perubahan kejiwaan setelah sakit. Pandangannya yang materialistik membuatnya semakin tidak perduli dengan komunikasi antar hati. Hubungan batin dengan batin. Telah membunuh benang merah hubungan kemanusiaan dengan kemanusiaan.

“Caligula” telah sempurna menjadi “iblis” bagi manusia, ketika dia telah menyatukan kekuasaan dan harta dan memposisikannya sebagai  sesuatu yang diatas segala galanya. Kepada kedua unsur itulah dia mengarahkan hidupnya. Celakanya orang lainpun dipaksa untuk ikut bersamanya. “Caligula” suka sesuatu yang tidak masuk itu akal didapatnya. Tapi, dengan mudah memerintahkan prajuritnya untuk mencarinya. Meski yang diperintah tak tahu bagaimana memenuhi keinginan sang kaisar.

Ketika menerima laporan kondisi terkini pemerintahannya, tentang  kondisi keuangan kerajaan yang menipis; sumber pemasukan seluruhnya tersendat; persediaan pasokan makanan mulai tergerus habis. “Caligula” sang kaisar itu, lagi-lagi kembali marah dan marah. Belakangan sejak sembuh, dia menjadi gampang marah. Semua hasil kerja pembantunya dikecamnya secara terbuka. Dia tidak perduli apakah itu penghinaan atau bukan. Yang penting daripadanya “Caligula” merasakan suatu kebahagiaan.

Informasi mengenai memburuknya kondisi keuangan kerajaan yang berimplikasi kepada memburuknya citra kerajaannya, tidak  membuat “Caligula” bersedih. Sebaliknya daripadanya dia serentak mendaptkan ilham dan ide baru. Ide gila: Seluruh bangsawan di wilayahnya diwajibkan menulis surat wasiat untuk menyerahkan kekayaannya kepada negara. Ide gilanya itu tentu saja menuai protes. Dua pengawal dengan gemetar menyampaikan keheranannya. Mana ada bangsawan yang mau memberikan hartanya.

“Caligula” memutuskan untuk menyeimbangkan kembali kas negara. Dia memerintakan penarikan pajak atas semua barang. Dia dikenal menyukai lelang sehingga seringkali ia menjadi juri lelang itu sendiri. Senang  menjual para budak dan gladiator, dan terkadang ia memaksa orang-orang kaya untuk datang ke pelelangannya itu. Seoang bangsawan tertentu dikisahkan telah dipaksa hadir mengangguk-angguk sambil tidur, ternyata oleh “Caligula” diartikan itu sebagai persetujuan. Ketika orang itu sadar ia mendapati bahwa ia telah menyetujui “membeli” 13 gladiator dengan harga yang fantastis.

“Untuk itu” kata “Caligula”, “aku memerlukan orang banyak, penonton, korban-korban, penjahat beratus bahkan beribu orang. Biar datang semua terdakwa, aku mau lihat penjahat-penjahat. Mereka semua penjahat. Bawa masuk manusia yang terkutuk itu. Aku ingin penonton, hakim, saksi, terdakwa, semua dijatuhi hukuman mati tanpa diadili.”

Bagi Camus, untuk mendorong terbukanya  ruang perubahan, dia memilih menempuh “jalan sastra” dengan menggunakan narasi  patriotik sugestif: pemberontakan (Revolt). Hal itu terungkap dalam semua karya-karyanya. Camus konsisten memelihara rute ”jalan sastra” untuk membongkar ketidakadilan berselubung demokrasi. Tulisan-tulisan dan filosofi Camus kerap dipenuhi dengan ide absurdisme dengan tema: pencarian manusia akan makna dan kejelasan dalam dunia yang tidak menawarkan penjelasan.

Melalui imajinasinya yang “liar”, Camus  mencoba melabrak semua tatanan peradaban norma berkehidupan. Mentransfernya melalui  karya tokoh imajinatif “Caligula” atau Sysiphus. Melalui tokoh-tokohnya itu, Camus menemukan ruang untuk memberontak. Dia menggugat kebenaran yang disaksikannya dimonopoli dan disalah gunakan oleh mereka yang disebut penguasa. 

Sebuah  pesan WhatsApp seorang teman masuk ke handphone saya. Meminta menulis lengkap puisi karya Iqbal sebagai berikut: Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka, akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. 

Menyusul pesan WhatsApp yang pendek. Sangat pendek sekali: Apa kabar Indonesia?