Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menulis artikel berjudul “Democracy Under Lockdown” : The Impact of Covid 19 on the Global Struggle for Freedom” pada bulan Oktober 2020. Kedua ilmuwan wanita asal Amerika itu menanggapi serius hasil penelitian Freedom House dengan menuliskan, bahwa tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara, tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif.

Pemerintah telah menanggapi dengan terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, membungkam kritik mereka, dan melemahkan atau menutup lembaga-lembaga penting, seringkali merusak sistem akuntabilitas yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kesimpulan penelitian Freedom House baru tentang dampak Covid 19 pada demokrasi dan hak asasi manusia tersebut dihasilkan dalam kemitraan dengan perusahaan survei GQR, sebuah perusahaan riset dan kampanye politik yang bermarkas di Washington D.C. Amerika Serikat.

Berdasarkan survei terhadap 398 jurnalis, pekerja masyarakat sipil, aktivis, dan pakar lainnya serta penelitian di 192 negara oleh jaringan analis global Freedom House, laporan ini adalah yang pertama dari jenisnya dan upaya paling mendalam hingga saat ini. Kedua ilmuwan itu menegaskan, penelitian tersebut sangat mendukung hipotesis bahwa pandemi Covid 19 memperburuk penurunan kebebasan selama 14 tahun berturut-turut. Tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara, tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif, dengan kata lain, pengaturan yang telah memiliki perlindungan yang lemah terhadap penyalahgunaan kekuasaan menjadi yang paling menderita.

Temuan ini menggambarkan luas dan dalamnya serangan terhadap demokrasi. Seperti yang dikatakan salah satu responden di Kamboja, “Pemerintah (menjadikan) virus corona sebagai kesempatan untuk menghancurkan ruang demokrasi.”

Gambarannya terlihat suram, kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations. Sejak wabah dimulai, kondisi demokrasi dan hak asasi manusia semakin memburuk di 80 negara, di mana pemerintah telah menggunakan Covid 19 sebagai dalih untuk menutup oposisi, meminggirkan kelompok minoritas, dan mengontrol informasi, tulisnya dalam artikel di Japan Times (Jan 13, 2021) berjudul “Covid 19 Batters Asia’s Already-Struggling Democracies”

Mengomentari hasil penelitian “Freedom House” itu, Joshua mengatakan, pandemi virus corona baru hanya memperburuk kerusakan demokrasi. Memperdalam krisis demokrasi di seluruh dunia. “Memberikan perlindungan bagi pemerintah untuk mengganggu pemilu, membungkam kritik dan menekan, dan merongrong akuntabilitas yang dibutuhkan untuk melindungi hak asasi manusia serta kesehatan masyarakat”.

Menurut Joshua, selama lima belas tahun terakhir, demokrasi di seluruh Asia telah mengalami kemunduran. Meskipun kawasan ini masih memiliki demokrasi yang kuat seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, banyak negara demokrasi Asia terkemuka lainnya dan negara-negara dengan potensi demokrasi telah tergelincir ke belakang. Berubah menjadi negara yang hampir otokrasi atau negara otoriter langsung.

Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menegaskan, diantara responden survei, 27 persen melaporkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sebagai salah satu dari tiga masalah yang paling terpengaruh oleh wabah virus corona. Pejabat dan layanan keamanan melakukan kekerasan terhadap warga sipil; menahan orang tanpa alasan; dan melanggar kewenangan hukum mereka. Mereka kemudian mengeksploitasi kekuatan darurat ini untuk mencampuri sistem peradilan, memberlakukan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada lawan politik, dan merusak fungsi legislatif yang krusial.

Seperti yang dikatakan salah satu responden tentang Turki, “Coronavirus digunakan sebagai alasan bagi pemerintah yang sudah menindas untuk melakukan hal-hal yang telah lama direncanakan, tetapi belum dapat”.

Ekses buruk wabah pandemi Covid 19 terhadap kehidupan masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, diperparah munculnya pandemi lain yang menumpang di atasnya. Merebaknya hoaks dan fitnah yang terorganisir oleh buzzer maupun influenzer. Bekerja menekan suara kritis masyarakat yang resah kurang tersentuh kebijakan mitigasi negara. Misal akibat maraknya praktik korupsi pejabat pemerintah di tingkat menteri. Sasaran korupsi adalah bantuan sosial. Pejabat keasyikan sukses berburu di kebun bintang. Dilakukan di tengah duka nestapa jutaan kelompok orang miskin baru. Korban PHK masif akibat ambruknya ratusan perusahaan tersapu wabah pandemi.

Laporan penelitian Universitas Oxford berjudul: “The Global Disinformation Order : 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” yang terbit akhir September 2019 membantu menjelaskan fenomena kelahiran buzzer dan influenzer. Penelitian yang ditangani Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard menyebutkan Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer alias pendengung untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Tugas utama buzzer dan influenzer menggerus ketahanan demokrasi yang sudah lunglai terdegradasi oleh kooptasi kekuasaan yang balik haluan ke jalur otoriter.

Menurut penelitian Universitas Oxford itu, tercatat, sejumlah pihak di Indonesia pengguna buzzer, adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Kebanyakan buzzer beraksi untuk tujuan menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi. Buzzer di Indonesia kebanyakan buzzer bayaran pada kisaran 1 juta hingga 50 juta rupiah. Para buzzer biasanya menggunakan Twitter, WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Modus yang sering mereka lakukan dengan menciptakan disinformasi dan memanipulasi informasi.

Sama diketahui, serangan wabah pandemi Covid 19 sejak awal Maret tahun lalu, yang memukul sektor kesehatan dan ekonomi bahkan demokrasi, mendorong pemerintah memanfaatkan legitimasi konstitusi untuk mengambil langkah darurat. Pengendalian pandemi dikemas menjadi mobilisasi mitigasi. Pandemi menjadi dasar penglegitimasian diskresi negara: Presiden mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Merujuk filsuf Yunani Cicero yang menegaskan “salus populi supreme lex esto”, yang bermakna “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sejalan semangat yang tertulis dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945.

Pandemi menjadi tirani baru dengan unsur baru : buzzer dan influenzer. Keduanya melengkapi potensi destruktif pandemi Covid 19 terdahulu. Mendorong demokrasi terkunci mati. Partai politik sebagai instrumen utama demokrasi tidak bicara apa-apa. Sebagai representasi suara rakyat sama sekali tidak bunyi.

Di tengah prahara penderitaan demokrasi, elite politik ramai-ramai mengunci mulut, membutakan mata dan menutup telinga dari gemuruh longsornya marwah bangunan demokrasi. Tirani pandemi merusak tiga sistem peradaban masyarakat modern yang sudah mapan. Hancurnya secara bersamaan: sistem kesehatan, sistem ekonomi dan sistem demokrasi. Masuk akal jika, Repucci dan Slipowitz menyebutnya sebagai “Democracy Under Lock down”.

Teman wartawan senior yang setia mengirim pesan WhatsApp, kembali mengingatkan kisah sejarah tragedi tentang Kaisar Nero. Dia menceritakan, “ketika kota Roma terbakar di landa kobaran api, Nero, sang kaisar: malah memilih memetik gitar di sudut Istana”. (Hoky)