BISKOM, Jakarta – Pada perkara di Pengadilan Pajak antara PT. Atlas Anugerah Kencana selaku Penggugat melawan Direktur Jenderal Pajak selaku Tergugat, Majelis Hakim XIIA (selanjutnya disebut “Majelis”) yang terdiri dari Masdi, SE., MSi., Bambang Sujatmiko, SH., MH., dan Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., MSi., telah bersikap tidak adil, berpihak dan tendensius karena Tergugat dapat menghadiri persidangan tanpa memperlihatkan Surat Tugas saat jalannya persidangan dan Majelis telah menerima penjelasan tertulis yang seharusnya di tandatangani oleh Pejabat eselon II selaku pimpinan tim sidang sesuai amanat SE-65/2012, namun faktanya penjelasan tertulis di tandatangani sendiri oleh tim sidang tanpa sepengetahuan pimpinannya, dan tetap di terima oleh Majelis dalam persidangan, Senin (11/10/ 2021).

Hal ini diungkapkan, Selasa 12 Oktober 2021 oleh Alessandro Rey, SH, MH,  MKn, BSC, MBA., selaku kuasa hukum PT. Atlas Anugerah Kencana, melalui via WhastApp menurutnya,“Tim sidang yang mewakili DJP tidak memiliki kewenangan untuk hadir dalam persidangan karena tidak dapat memberikan Surat Tugas dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan keterangan tertulis sebagaimana amanat ketentuan angka 5 huruf d SE-65/2012, dan kalaupun Tim Sidang dapat menunjukkan Surat Tugas, maka Tim Sidang harus dapat menunjukkan Surat Tugas yang didalamnya tercantum Nomor Perkara yang diwakili oleh Tim Sidang dan karena ini ada 13 Gugatan, maka Surat Tugas Tim Sidang juga seharusnya ada 13 Surat Tugas dengan masing-masing Nomor Perkara” sesuai dengan ketentuan KMKA Nomor 32/2007, Namun fakta di persidangan Majelis tetap melanjutkan persidangan dan mengesampingkan hukum acara tersebut;

Bahwa selanjutnya menurut Rey, Majelis telah mempertimbangkan keberatan dari Tergugat (Tim Sidang) yang tidak  berwenang yang merasa keberatan karena Gugatan penggugat diajukan telah lewat waktu 30 hari padahal pimpinan Tim Sidang (Eselon II) dalam tanggapan tertulis sebelumnya telah mengakui bahwa Gugatan penggugat diajukan masih dalam jangka waktu 30 hari sejak dikirimkan surat keputusan, sehingga Majelis hanya mempertimbangkan keberatan dari Tim Sidang yang tidak berwenang dan mengesampingkan pengakuan Pimpinan Tim Sidang (Eselon II);

Bahwa selanjutnya pada persidangan ke-5 (lima), Majelis telah bertindak tendensius dan berpihak kepada Tergugat selaku mantan corps DJP karena Majelis hanya memberikan waktu 1 minggu kepada Penggugat untuk menghadirkan Ahli padahal sebelumnya Majelis telah memberikan waktu 2 minggu lalu menarik ludahnya sendiri dan hanya memberikan waktu 1 minggu kepada Penggugat dengan alasan majelis “Waktu kami mepet dan kami masih banyak perkara yang harus di periksa, jadi kita percepat saja pemeriksaannya”.  Hal tersebut dilakukan oleh Majelis diduga agar Penggugat tidak sempat menghadirkan Ahli karena waktu yang terlalu singkat.

 Lebih lanjut Rey menjelaskan Hakim memerintahkan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan pada persidangan berikutnya hari senin, tanggal 18 Oktober 2021, PADAHAL pemeriksaan AHLI BELUM SELESAI KARENA HAKIM masih akan melakukan Pemeriksaan Ahli pada Persidangan tanggal 18 Oktober 2021.  Berdasarkan pengalaman kami beracara di Pengadilan manapun di Indonesia, Kesimpulan hanya dapat dibuat setelah selesainya pemeriksaan surat dan saksi serta ahli, Namun hanya di Majelis Pengadilan Pajak ini, Kesimpulan dibuat bersamaan dengan pemeriksaan Ahli, pungkas “Rey”

Adapun yang menjadi kasus sengketa adalah mengenai jangka waktu pengajuan gugatan  dalam pasal 40 ayat (3) UUPP.  Menurut Majelis dan Tergugat, jangka waktu pengajuan Gugatan adalah 31 hari sedangkan menurut Penggugat jangka waktu pengajuan gugatan masih dalam kurun waktu 30 hari.  Adapun alasan Majelis dan Penggugat berpendapat bahwa jangka waktu tersebut sudah 31 hari karena Majelis dan Tergugat menghitung stempel pengiriman pos Surat Ketetapan Pajak (SKP) pukul 13.50 tanggal 16 Desember 2021 sudah terhitung 24 jam (tidak diketahui dari mana perhitungannya) sedangkan Penggugat berpendapat tanggal 16 Desember 2021 pukul 13.50 baru 10.10 (10 jam 10 Menit) karena penghitungan dimulai dari pukul 13.51 sampai dengan 24.00 sehingga penghitungan jangka waktu 30 hari harus berakhir 720 Jam yang dimulai dari tanggal 16 Desember 2021 pukul 13.51 dan berakhir tanggal 15 Januari 2021 pukul 13.50. 

Dr. Chandra Yusuf SH., LLM., MBA., MM selaku Ahli menjelaskan adapun yang dimaksud dengan  “tanggal diterima keputusan” berdasarkan Pasal 1 angka (12) UUPP adalah tanggal stempel pos pengiriman atau surat keputusan dikirimkan secara langsung sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (12) UUPP (“Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung”);

Lanjut Ahli, Mengenai frase/kata “sejak” yang ada dalam Pasal 40 ayat (3) UUPP yang berbunyi sebagai berikut “Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat“.  Menurut pendapat Ahli frase/kata sejak berdasarkan KBBI adalah kata penghubung untuk menandai “mulai dari”, dan karena Penggugat baru menerima SKP tanggal 16 Desember 2020 pukul 13.50, maka penghitugan dimulai dari tanggal 16 Desember 2020 pukul 13.51 dan dihitung sampai dengan 720 jam sehingga akan berkahir pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 13.50.

Ahli menambahakan penghitungan 30 hari dimana 1 hari harus terdiri dari 24 jam sehingga 30 hari adalah sama dengan 720 jam.  Adapun alasan penghitungan hari sama dengan 24 jam adalah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut “KBBI”) yaitu 1 hari adalah waktu dari pagi sampai pagi lagi yaitu satu edaran bumi pada sumbunya 24 jam dan hal tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan  UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (28) adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam sesuai dengan Pasal 1 ayat (28) UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 (“1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam”).  Hal tersebut juga telah sesuai dengan ISO 8601 dan kalendar Gregorian yang diakui diseluruh dunia bahwa 1 hari adalah harus 24 jam;

Tambah Rey, Seharusnya Majelis berterima kasih kepada Ahli karena telah menjelaskan pengertian hari dalam Pasal 40 ayat 3 UUPP karena penjelasan pasal tersebut tidak ada dan Tergugat juga tidak menghadirkan ahli, Namun Majelis, gantinya mendengarkan keterangan Ahli, membantah dan menolak pendapat Ahli dalam Persidangan tersebut dan tidak mengakui dasar dan pendapat Ahli di dalam persidangan tersebut karena diduga khawatir putusan NO yang akan dibuatnya menjadi tidak berdasar hukum;

 Lanjut Rey, Dalam bantahannya Majelis telah bertindak tidak adil, berpihak serta tendensius karena memaksakan pendapat Majelis kepada Ahli sesuai keinginan Majelis dengan dengan mengatakan “DALAM BIDANG PAJAK SUDAH BISA MENGHITUNG 1 menit atau 1 jam menjadi 1 HARI”, padahal seharusnya Majelis mendengarkan Pendapat ahli guna membuat terang apa yang dimaksud dengan 1 HARI adalah 24 Jam dan jika belum 24 jam, maka hanya disebut jam saja tidak bisa disebut hari, Namun Majelis dan Tergugat tetap “ngeyel” dan mentertawakan serta melecehkan Ahli lulusan UI, Australia dan Amerika yang dihadirkan Penggugat;

Menurut Ahli berdasarkan penjelasan diatas maka dapat kita tarik kesimpulan, sejak dikirimkannya SKP tanggal 16 Desember 2020 pukul 13.50, maka perhitungan dimulainya adalah 16 Desember 2020 pukul 13.51 hingga batas waktu diajukannya Gugatan adalah 720 jam sehingga batas waktu pengajuan jatuh tempo Tanggal 15 Januari 2021 pukul 13.50.

Lanjut Ahli, Berdasarkan perhitungan batas waktu pengajuan Gugatan diatas, maka jika Penggugat mengajukan Gugatan pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 10.00 sebagaimana dibuktikan dengan tanda terima Pengadilan Pajak, maka Surat Gugatan yang diajukan oleh Penggugat masih dalam jangka waktu pengajuan Gugatan berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (3) UUPP dan demi hukum gugatan penggugat haruslah di terima.

Menurut Rey, Jika Majelis Hakim menyimpulkan bahwa Gugatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan formal jangka waktu pengajuan Gugatan yang ada dalam Pasal 40 ayat (3) UUPP maka dapat disimpulkan bahwa Hakim telah melakukan tindakan tidak adil kepada pihak-pihak yang sedang bersengketa dan tindakan tersebut melanggar kode etik hakim sebagaimana KMA/047/2009.

Bahwa kezoliman yang paling terlihat nyata adalah ketika Majelis juga sudah menyampaikan kepada para pihak di muka persidangan amar putusan yang akan dibuat oleh Majelis yaitu putusan NO, padahal pemeriksaan ahli belum selesai dan kesimpulan belum disampaikan oleh para pihak, dan penggugat akan melaporkan Majelis kepada Komisi Yudisial dan Bawas Mahkamah Agung, pungkas Rey. (Edi Pras)