Di kalangan perusahaan swasta yang tidak mensyaratkan gelar Sarjana untuk para pekerjanya, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mulai jadi primadona. Padahal pertemuan atau Link and Match antara SMK dan industri selama ini belum terwujud secara maksimal.
Berikut ini contoh pengalaman dua remaja alumni SMKN 2 Subang Jawa Barat yang kebetulan bernasib baik dan bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidangnya di Jakarta. Adalah Yayasan Meruvian yang menerapkan konsep Link and Match secara ideal.
Cerita awalnya berangkat saat Meruvian menggelar kelas khusus kewirausahaan rekayasa perangkat lunak (RPL) berbasis Java. Dari situ, program magang untuk siswa SMK pun dibuka dan terus berkembang bahkan merekrut siswa magang menjadi pegawai. Hingga didirikanlah perusahaan konsultan dan software development bernama PT Mervotura Rekantara.
Direktur PT Mervotura Rekantara dipegang oleh lulusan SMK, Nita Puspita, alumni jurusan akuntansi SMKN 2 Subang. Seorang temannya lagi, Mila Yuliani, kini menjadi teknisi atau programmer di perusahaan itu. Mereka berdua mengaku ilmu dan keterampilan yang didapat selama belajar di SMK sedikit banyak bisa terpakai.
PT Mervotura Rekantara yang berdiri April lalu sebagai cikal bakal perusahaan milik Meruvian mulai aktif menerapkan konsep Link and Match sejak mulai 2008. “Sebenarnya dari tahun 2003 juga, Meruvian sudah ada anak yang magangnya. Cuma waktu itu masih atas nama PT Intercitra,” kata Nita kepada BISKOM (7/5).
Kini PT Mervotura merupakan Java Center, yakni perusahaan yang bergerak di bidang spesialis Java, dengan harga yang di bawah standar pasar, namun menjanjikan kualitas yang lebih baik. Meruvian sebagai perusahaan induk juga terus berkembang dengan spesialiasi program Java. Sejumlah klien baik pihak swasta maupun pemerintah sudah mengajaknya bekerjasama seperti dari Sinar Mas, Jababeka, Maetikra, Badan Koordinasi (Bakosurtanal), Departemen Keuangan (Depkeu) PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Ditanya soal kondisi SMK saat ini, Nita menilai ada link yang tidak nyambung antara requirement industri dengan apa yang diajarkan di sekolah. “Terserap di dunia kerja mungkin iya memang terserap, tapi apakah pekerjaan yang mereka dapatkan itu sesuai dengan kejuruan atau keahlian yang dia pelajari di sekolah, itu belum tentu,” tukasnya.
Menurutnya, harus ada regulasi cara mengajar yang current atau up to date. “Intinya yang banyak terjadi kan kurikulum lama masih dipakai. Sementara dunia kerja praktis terus berkembang atau up to date,” selorohnya.
Karena itu Nita melontarkan kritik buat Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) agar me-review kembali standar kompetensi SMK yang sekarang ini dengan apa yang industri minta. “Agar lulusan SMK ini, dapat diserap SDM-nya oleh industri. Kalau pun tidak kerja, setidaknya mereka bisa berwirausaha. Dan kalau pun harus jadi kuli pabrik, setidaknya harus sesuai dengan skill-nya” jelas Nita.
Mila menilai ada perbedaan dengan apa yang saya pelajari di SMK saat dibandingkan dengan dunia kerja. Namun ia juga tak menampik ada juga materi yang didapat di SMK yang terpakai di dunia kerja seperti logika, algoritma pemrograman sebagai dasar atau bekal memasuki dunia kerja.”Karena itu pas jadi programmer, saya masih bisa mengerti karena memang sudah ada basic yang hampir sama,” ujarnya.
Menurut Mila banyak anak didik SMK yang mengeluhkan dengan pekerjaannya sebagai buruh pabrik, sehingga mundur atau kehilangan pekerjaannya dan akhirnya menganggur.
Keluhan-keluhan seperti itu sebagian besar ia dapat dari teman-teman SMK yang tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau bahkan tengah menganggur. “Hanya sedikit saja yang bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena orangtua mereka tergolong mampu,” tukasnya. Soal berwirausaha? Hingga saat ini
Mila belum banyak melihat lulusan SMK yang tertarik berwirausaha. Apalagi modal kerap jadi kendala memulai mereka untuk berwirausaha. Mila berpendapat dengan adanya program-program wirausaha di SMK, mungkin siswa jadi lebih terbuka wawasan soal kewirausahaannya. Di samping itu harus pula disediakan praktik bahkan kalau bisa disertai modal untuk wirausahanya. “Sebab sebenarnya mereka sudah bisa membuat produk dan punya ilmunya.
Misalnya jika seseorang belajar menjahit, dia bisa buka jasa penjahitaan. Kalau dia bisa mesin, dia bisa buka bengkel atau jika seseorang punya keahlian masak, bisa buka katering dan lain sebagainya. Nah, kalau dari segi industri, menurut saya jangan dilihat dari basically pendidikan, tapi perlu dilihat dari segi skill yang dimiliki SDM tersebut. Artinya para lulusan SMK ini harus bekerja di industri yang menangani pekerjaan sesuai bidang yang dimiliki siswa,” pungkas Mila.