Budiman Sudjatmiko, Insiator Bukit Algoritma sekaligus Ketua Umum Gerakan Inovator 4.0 Indonesia menegaskan, banyak yang harus disiapkan negeri kita dalam menyiasati transformasi digital, khususnya masuk ke era metaverse yang digulirkan pemilik perusahaan media sosial Facebook, Mark Zuckerberg.
”Mengacu perkembangan komunikasi digital, saat ini kita berada di era media sosial spasial yang ditandai dengan integrasi dunia maya dan nyata yaitu metaverse. Ini keasyikan baru dan butuh SDM andal dibidang teknologi digital,” kata Budiman saat menjadi narasumber dalam Webinar Membangun Ekonomi Digital di Era Metaverse yang diselenggarakan Ikatan Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Ika Mikom Undip) Sabtu (26/3/2022).
Era metaverse, kata Budiman, diperlukan kesiapan teknis karena butuh tujuh pendukung yaitu Headset AR/VIR, Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) guna meniru fungsi kognitif manusia, teknologi Virtual Reality yang bisa membawa seseorang masuk ke dunia digital.
Selanjutnya Augmented Reality, Super Processor, Blockchain, Brain-Computer Interface dan perangkat konektivitas cepat (5G/6G).
”Di dunia ini ada elemen pembentuk ekosistem metaverse, diantaranya Cryptocurrency atau alat tukar dunia metaverse dan NFT marketplace atau status kepemilikan dunia metaverse. Kita mampu di era ini, namun butuh kesiapan,” tandas penggagas Metaverse Nusantara itu.
Selain Budiman, pemateri lain yaitu dosen Magister Ilmu Komunikasi Undip Triyono Lukmantoro yang berbicara tentang Meteverse dan Ekosistem Jurnalisme Digital dan Ketua Komite Ekonomi Kreatif Jawa Tengah Ahmad Khoirudin yang memaparkan kontribusi ekonomi kreatif bagi era metaverse . Acara yang diikuti ratusan alumni Mikom Undip di berbagai kota di Indonesia ini dipandu oleh Astini Kumalasari.
Undip Triyono Lukmantoro menyebut metaverse merupakan label baru dari Facebook. Praktisi komunikasi tersebut memaparkan fase sebelum memasuki era metaverse, yang dimulai dari Web 1.0 yang ditandai era Netscape yang mengonkesikan kita ke dunia online, selanjutnya Web 2.0 lewat Facebook yang mengoneksikan kita ke komunitas online dan Web 3.0 yang masuk era Decentraland yang menghubungkan kita ke dunia virtual yang dimiliki komunitas.
”Di dunia decentraland, memungkinkan para pengguna membangun alat, games, market dan membangun infrastruktur yang mendukung dunia virtual bersama yaitu metaverse. Metaverse sendiri boleh dikata sebagai semesta-pasca realitas, menggabungkan realitas fisik dan realitas virtual,” kata Triyono.
Menghadapi metaverse, kata dia, persiapan yang harus dilakukan adalah mempelajari teknologi digital social media, transformasi digital, digital marketing dan teknologi masa depan. Meskipun demikian, Triyono setuju tetap ada Undang-Undang yang mengatur hukum dalam bersosial media termasuk metaverse.
Di bagian lain, Ahmad Khoirudin mengatakan, Indonesia memiliki bonus demografi, pengguna smartphone yang besar dan sungguh kaya oleh potensi kultural. Namun sayangya, ekonomi kreatif (ekraf) belum dioptimalkan sepenuhnya. Padahal di negara seperti Korea Selatan, ekraf menjadi penyumbang ekonomi terbesar bagi negara melalui musik dan ekspt K-pop.
Di era metaverse, ekraf memegang peranan penting, karena di sana ada industri dan ekosistem permainan (game) lokal memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam ekonomi kreatif Tanah Air. Jika Pemerintah tak memanfaatkan potensi yang dimiliki, maka saat masuk ke dunia metaverse hanya menjadi target market saja.
”Dunia game metaverse itu platform basic-nya ekonomi kreatif. Di sana perputaran uang dan asetnya sangat besar. Dengan modal bonus demografi dan kekayaan kultural, negeri kita berpotensi menjadi pasar metaverse. Tapi kalau tak bisa memanfaatkan, kita hanya menjadi target market saja,” kata Adin Hysteria, demikian panggilan akrabnya.
Dalam perspektifnya, Adin banyak menyoroti tantangan metaverse untuk tumbuhnya ekraf di Tanah Air. Menurutnya, metaverse yang digagas perusahaan teknologi media sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg ini menimbulkan koneksivitas orang-orang melalui komunikasi virtual yang secara nyata.
”Di era metaverse, sudah ada jual beli tanah digital dengan harga 2,4 juta dolar. Ternyata banyak yang berminat. Tapi di dunia spekulatif, semuanya bisa terjadi. Investasi di metaverse seperti permainan yang menarik dan menantang,” katanya.
Metaverse, kata dia, juga bukan soal urusan cuan. Namun dia mengingatkan dunia maya juga menjadi alat berbahaya. Karena adanya connecting people ini, dimanfaatkan sebagai alat pengarah hasrat, misalnya produk yang disukai, bahkan kecenderungan politiknya.
”Di sini potensi konflik tinggi, potensi toleransinya juga tinggi. Sejak awal, memang Zuckerberg memang tujuan positif, tapi juga ada pemain yang memanfaatkan era metaverse untuk kejahatan,” katanya.
Webinar yang dibuka pembawa acara Sinta Pramucitra berlangsung gayeng dan menarik karena ada doorprize yang dibagikan bagi peserta aktif.
Ketua Ika Mikom Undip sekaligus Ketua Panitia Webinar Heni Indrayani menjelaskan, webinar ini digelar sebagai ajang silaturahmi alumni Mikom Undip yang tersebar di dalam negeri dan mancanegara. Selain itu webinar ini sebagai transfer pengetahuan bersama, terutama isu metaverse yang sedang hangat dibicarakan.
Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi Undip Yanuar Luqman mengapreasi kegiatan ini yang bisa menambah pengetahuan dan cakrawala pandang bagi peserta dan praktisi komunikasi tentang peluang dan tantangan dunia metaverse.