Sidang kasus iPad Charlie Sianipar 01Sudah cukup banyak pebisnis teknologi informasi (TI) yang terjerat kriminasisasi regulasi, termasuk puluhan pedagang iPad yang terjadi akhir-akhir ini. Mereka adalah korban regulasi yang minim sosialisasi, terutama kepada pengusaha kecil retailer.

Kasus penjualan iPad yang belum lama ini menimpa Charlie Mangapul Sianipar bermula saat dua orang wanita berkunjung ke toko Charlie di lantai 2 Ambasador Mall, Jakarta, pada 2 November 2010. Kedua wanita itu mengaku mencari Ipad untuk anaknya.

Sebagai pedagang yang punya toko kecil di Ambassador, tentu Charlie amat senang ada pembeli dan melayani mereka dengan baik ketika dia ditanya mengenai cara operasi dan fungsi fungsi fitur barang tersebut.

“Ada buku manualnya, tidak?” tanya si wanita kemudian. Sebuah pertanyaan yang mulai menjebak Charlie. Si pemilik toko pun menjawab, manualnya bisa di-download dan ada bahasa Indonesia-nya pula. Beberapa saat kemudian, seorang pria masuk dan langsung bertanya kepada Charlie, apakah banyak stok iPad -nya? Tak lama berselang datang lagi seorang pria masuk dan disapa dengan baik oleh Charlie layaknya seorang sales kepada calon pembelinya. “Bapak cari apa dan dari mana?” tanya ayah dari tiga anak ini sambil tetap santun.

Salah seorang pria menjawab dari kepolisian hingga keempat orang yang datang itu semua mengaku dari kepolisian. Kedua pria diantaranya menyita 14 unit iPad milik Charlie, hanya produk iPad yang diamankan. Bon-bon jual beli pun disita, sambil salah seorang mengeluarkan surat perintah.

Charlie pun ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf j UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen akibat diduga tidak memiliki buku manual berbahasa Indonesia. Pemilik toko kecil yang malang itu pun terancam dikenai pasal berlapis dengan Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi karena menjual produk tanpa sertifikat peralatan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel), terlebih iPad belum terkategori alat elektronik komunikasi resmi. Ancamannya pidana penjara paling lama 5 tahun penjara.

Singkat cerita, sidang perdana kasus ini pun digelar  di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan No. Register Perkara Pidana: 883/Pid.B/2011/PN.JKT.SEL. Hingga 5 September 2011 sudah memasuki persidangan keempat dengan agenda putusan sela dari Majelis Hakim. Charlie tidak pasrah begitu sajal. Ia pun membela diri dengan menyiapkan tim pengacara.

Kriminalisasi Regulasi
Dalam rilis yang dikirimkan tim pengacaranya pada  26 Agustus 2011, kasus ini disebut sebagai bentuk ‘kriminalisasi regulasi’. Kasus serupa juga menimpa terdakwa Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samusamu yang proses persidangannya masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dari perkara tersebut, publik bisa melihat bahwa masyarakat awam yang dilindungi oleh hukum dan Undang-undang Dasar 1945, dapat menjadi korban atas penerapan dan penafsiran hukum yang tidak tepat, keliru dan semena-mena dari oknum penegak hukum atau bahasa umumnya disebut “kriminalisasi”.

Sidang kasus iPad Charlie Sianipar 02Menurut tim pengacara Charlie dari Lawyers Partnership yang diantarnya terdiri dari Andi F. Simangunsong, SH, Andar R. Hasiholan Panggabean, SH., Bobby Christianto Manurung, SH dan Bryan Bernadi, SH., upaya kriminalisasi yang disampaikan dalam dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan dipaksakan terhadap kliennya. Pertama, mengenai ketiadaan buku panduan atau petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia atas produk iPad sesuai UU Perlindungan Konsumen. Kedua, soal tidak terpenuhinya persyaratan teknis dan izin sesuai dengan UU Telekomunikasi terkait sertifikasi atas produk iPad.

Tim pengacara Charlie menjelaskan, selaku pedagang berskala kecil yang menjual produk iPad, sepatutnya klien mereka tidak dapat dijerat pidana untuk menyediakan petunjuk penggunaan produk iPad dalam bahasa Indonesia. Hal ini karena Apple Inc., selaku pabrikan resmi yang mengeluarkan iPad tidak pernah menyediakan petunjuk penggunaan dalam berbentuk buku berbahasa Indonesia di dalam kemasan perangkat iPad.

“Akan tetapi, petunjuk penggunaan berbahasa Indonesia tersebut tersedia dalam bentuk digital yang dapat diunduh dari website resmi Apple Inc,” kilah Andi F. Simangunsong, SH selaku kuasa hukum Charlie.

Selain itu, imbuh Andi, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Telematika dan Elektronika, disebutkan dengan jelas mengenai 45 jenis produk yang wajib melampirkan petunjuk penggunaan. “Dan produk iPad tidak termasuk produk yang diwajibkan untuk melampirkan petunjuk penggunaannya,” tandas Andi.

Sementara Andar R. Hasiholan Panggabean, SH., menilai, terkait produk iPad sendiri termasuk ke dalam kategori bentuk mini laptop/tablet/komputer, dan bukan merupakan alat telekomunikasi. “Dalam hal produk iPad tersebut tetap “dipaksakan”, termasuk dalam kategori alat komunikasi, maka klien kami selaku penjual berskala kecil pun tidak berkewajiban untuk melakukan sertifikasi ke Dirjen Postel,” kata Andar.

Hal tersebut menurutnya sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No:29/PER/M.KOMINFO/09/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi. Dalam Permenkminfo itu disebutkan bahwa pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan sertifikasi adalah (i) pabrikan atau perwakilannya (representatif), (ii) distributor (badan usaha yang sah yang ditunjuk oleh pabrikan), (iii) importir, (iv) badan usaha perakit alat dan perangkat telekomunikasi; dan (v) institusi yang menggunakan alat dan perangkat telekomunikasi untuk keperluan sendiri.

“Perkara iPad yang menimpa Saudara Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samusamu serta Bapak Charlie ini merupakan bentuk kriminalisasi dari aparat penegak hukum dan korban atas suatu penafsiran suatu undang-undang yang salah kaprah dan keliru,” tegas Andar.

Sejumput pertanyaan pun masih belum terjawab, antara lain apa sebenarnya motif pemberantasan pedagang iPad non-distributor resmi tersebut? Dimana diketahui bahwa barang yang didagangkan adalah sama persis dengan yang dijual pada distributor resmi. Apakah penjualan iPad hanyalah dapat dilakukan melalui distributor resmi saja, yang telah melakukan kerjasama dengan Apple Inc.?

“Tentunya hal ini sama saja dengan mematikan mata pencaharian pedagang kecil, karena tidak semua pedagang mampu membiayai untuk membuat kerjasama resmi tersebut. Alangkah ironisnya, jika pembatasan untuk memasarkan produk iPad tersebut benar-benar terjadi,” kata Andar.

Dengan adanya kejadian ini, pihaknya berharap agar media massa dan masyarakat luas dapat mengawasi dan memantau secara terus menerus proses persidangan kliennya sehingga publik dapat melihat keadilan dan kepastian hukum bagi Charlie.

“Hingga tanggal 5 September 2011 ini perkara yang menimpa klien kami akan memasuki persidangan keempat yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ujar Andar. Namun sayangnya, pada tanggal tersebut jaksa penuntut berhalangan hadir sehingga sidang lanjutan ditunda hingga tanggal 14 September 2011 mendatang.

Kejanggalan Kriminalisasi
Karena kasus seperti ini sudah kerap kali terjadi, banyak pihak yang menilai apa yang dilakukan oknum aparat penegak hukum merupakan tindakan sewenang-wenang. Modus operandi penindakan secara hukum bisa saja jadi motif oknum penegak hukum untuk mendapatkan hal yang sebenarnya bukan haknya. Jadi, apa sebenarnya motif pemberantasan pedagang iPad non-distributor resmi tersebut?

Sidang kasus iPad Charlie Sianipar 03Menanggapi kasus Charlie ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Warnet Koperasi Komuntas Telematika (APW-Komitel) dan Masyarakat Telematika (Mastel), Rudy Rusdiah mengatakan, terdapat banyak kejanggalan atas tindakan aparat penegak hukum terhadap pelaku bisnis TI ini.

Rudy mencontohkan, salah satu kejanggalan yakni produk yang disita hanya Ipad . Padahal di toko ada juga mouse, keyboard, notebook dan produk apple lainnya. “Semua tidak disentuh dan ditanyakan apakah ada manualnya, hanya iPad yang diincar. Aneh kan?” ucap Rudy.

Tuduhan melanggar UU Perlindungan Konsumen (UU PK)  juga dipertanyakan, padahal transaksi jual beli iPad belum terjadi dan tidak ada konsumen saat peristiwa di tempat kejadian perkara (TKP). Yang ada hanya polisi yang menyamar kemudian menyita barang dan menangkap Charlie. Terlebih dalam UU PK yang bisa menuntut adalah konsumen.

“Jadi siapa konsumennya waktu itu jika tidak ada transaksi. Keanehan lainnya, UU PK kan berlaku jika ada konsumen yang dirugikan dan biasanya dituntut secara perdata, kok ini langsung diproses dan dikenakan pasal pidana?” tanya Rudy.

Keanehan lain, manual iPad tersedia secara online dan dalam berbagai bahasa. Dalam Permendag No. 19/M-DAG/Per 5/2009 tertuang pada Bab 1 ketentuan umum yakni petunjuk penggunaan (manual) bisa buku lembaran atau bentuk lainnya. Artinya, bentuk lainnya bisa berbentuk secara online, soft copy yang bisa di-download dari internet.

Yang masih misteri, imbuh Rudy, apa motif atau siapa yang mengorder penyidik atau polisi melakukan penyamaran hingga berpura-pura sebagai pengunjung toko?

Lantas kenapa hanya iPad yang disita? Kenapa pula kasus ini langsung diproses ke pengadilan untuk kasus pidana? Apakah Kementerian Perdagangan sebagai institusi teknis yang mengeluarkan Permen Buku Manual berbahasa Indonesia? Apakah ada delik aduan dari pelanggan atau konsumen yang sudah dirugikan dan melapor kepada polisi? Atau masih adakah kemungkinan polisi bertindak sendiri tanpa ada pihak yang mengadu untuk dilakukan penyidikan?

Pertanyaan serupa juga terlontar dari Soegiharto Santoso, pengusaha TI yang prihatin terhadap kasus ini.  Menurut Hoky, sapaan Soegiharto, kasus yang menimpa Charlie, menunjukkan bahwa para pengusaha TI cenderung menjadi korban regulasi yang kurang disosialisasikan dengan baik, sehingga kasus ini dapat dialami oleh siapa pun.

“Karena itu pelaku usaha TI perlu ada pendampingan hukum. Mereka perlu dilindungi agar tidak mudah ditekan pihak lain. Sudah menjadi tugas organisasi seperti Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) untuk bisa mengayomi, mendampingi dan melindungi anggotanya dari tindakan hukum misalnya terjerat pelanggaran HaKI maupun seperti kasus iPad yang terjadi saat ini,” ungkap Hoky yang hadir dalam sidang kasus Charlie di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (5/9).

Jikalau anggota asosiasi itu memang tidak bersalah di hadapan hukum, tandas Hoky, maka kewajiban asosiasi untuk ikut membela. Karena itu untuk menghadapi masalah hukum yang menimpa pelaku bisnis TI, diharapkan ada yang mendampinginya dengan menyiapkan tim advokasi guna membantu pembelaan dalam masalah legal yang dihadapinya.

“Kalau pun ada yang ternyata benar bersalah, kita berikan bantuan tim advokasi agar dapat menjalani proses hukum sebagaimana mestinya. Dengan demikian, organisasi yang menaungi pebisnis TI, baik dalam skala kecil maupun besar, bisa memposisikan mereka setara di hadapan hukum,” pungkas Hoky.

hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Team AFS Lawyers Partnership diantarnya; Andar R. Hasiholan Panggabean, SH., Bobby Christianto Manurung, SH. Bryan Bernadi, SH. dimana ketiganya menyampaikan kekecewaannya atas tidak hadiran pihak jaksa penuntut.

1 COMMENT

  1. Semoga kasus iPad ini selesai dengan baik untuk terdakwa, karena peraturan Mentri Perdagangan tidak mengharuskan iPad untuk memiliki manual book dalam bahasa Indonesia, walaupun Apple telah membuat buku panduannya dalam bahasa indonesia dengan format digital files.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.