Vincent Suriadinata, SH., MH., CTA.

BISKOM, Jakarta – Masyarakat dihebohkan dengan peristiwa seorang pria korban begal berinisial S dijadikan tersangka oleh Satreskrim Polres Lombok Tengah setelah 2 dari 4 orang pelaku yang membegalnya tewas.

“Korban begal dikenakan Pasal 338 KUHP menghilangkan nyawa seseorang dengan melanggar hukum maupun Pasal 351 KUHP ayat (3) melakukan penganiayaan mengakibatkan hilang nyawa seseorang,” kata Wakil Kepala Polres Lombok Tengah Kompol I Ketut Tamiana dalam konferensi pers di Lombok Tengah, Selasa (12/4).

Kejadian ini bermula saat S pergi ke Lombok Timur untuk mengantarkan nasi kepada ibunya. Kemudian, di tengah jalan, S dipepet 2 orang pelaku begal, sehingga dia melakukan perlawanan menggunakan senjata tajam. Tidak lama kemudian, datang dua pelaku begal lain. Namun, keempat pelaku begal itu berhasil ditumbangkan S meskipun seorang diri.

Barang bukti yang disita polisi berupa empat buah senjata tajam dan tiga unit motor yang diduga digunakan oleh S dan para pelaku begal. “Satu korban (begal) melawan empat pelaku (begal) yang mengakibatkan dua pelaku begal inisial P (30) dan OWP (21), warga Desa Beleka, tewas. Sedangkan dua pelaku lainnya melarikan diri dan saat ini telah diamankan,” jelasnya.

Ditetapkannya S menjadi tersangka banyak menuai kritik di tengah masyarakat. Menurut Advokat Vincent Suriadinata, SH, MH., CTA., S seharusnya tidak dipidana karena melakukan pembelaan terpaksa. “Ada ketentuan Pasal 49 KUHP dimana pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana,” terangnya.

Vincent juga membandingkan peristiwa S di Lombok Tengah dengan kasus Muhamad Irfan Bahri di Bekasi. “Pemuda ini sempat dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian karena menewaskan begal yang mencoba merampoknya di Bekasi. Waktu itu ada peran Prof. Mahfud MD yang melaporkan hal ini ke Presiden sehingga pemuda ini dibebaskan bahkan mendapatkan penghargaan dari Polisi. Seharusnya pihak kepolisian di Lombok Tengah atau NTB bisa berkaca dari kasus di Bekasi,” papar Vincent yang juga praktisi beladiri dan Komisi Hukum Pengurus Pusat Hapkido Indonesia ini.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Pol. Agus Andrianto menilai, korban begal yang ditetapkan tersangka di NTB, harus mendapatkan perlindungan. Tetapi, dengan kondisi dia memberikan perlawanan yang bila tidak dilakukan maka akan menjadi korban.

“Saya kira, bila benar yang bersangkutan melakukan perlawanan atau pembelaan paksa, dalam artian bila tidak dilakukan bisa menjadi korban para pelaku, ya harus dilindungi,” ujar Agus pada Jumat (15/4/2022).

Vincent berharap S bisa dibebaskan jika terbukti melakukan pembelaan terpaksa. “Ini bukanlah kejadian yang pertama di Indonesia. Saya berharap polisi bisa menghentikan kasus ini dan membebaskan S. Kita dukung Polri untuk bisa mewujudkan motto PRESISI yakni prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat,” pungkasnya. (red)