BISKOM, Jakarta – Pengaturan Undang-Undang tentang Sumber Daya Alam (SDA) harusnya memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang telah ada dalam konstitusi negara. Banyak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait SDA menyebutkan prinsip hukum yang digali berdasarkan konstitusi dasar negara yang kemudian harusnya menuntun arah kebijakan hukum terhadap pengaturan SDA di Indonesia, sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD 1945. Prinsip-prinsip hukum ini pula yang akan dijadikan pedoman sekaligus sebagai alat evaluasi terhadap pengaturan SDA ke dalam berbagai produk perundang-undangan.

“Dari 20 prinsip hukum yang pernah diputuskan MK, ada 7 prinsip yang tidak konsisten dijabarkan ke dalam amandemen Undang-Undang bidang sumber daya alam. 2 prinsip yang dapat saya berikan contoh adalah Prinsip Penguasaan Negara yang tidak konsisten dengan aturan hukum yang terdapat dalam UU Ketenagalistrikan dan Perkebunan dan Prinsip Desentralisasi yang tidak konsisten diterapkan dalam UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”, ujar Wakil Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (PPUU DPD RI), Aji Mirni Mawarni selaku dalam Uji Sahih RUU Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Mulawarman pada Kamis (22/6) di Universitas Mulawarman, Samarinda.

Aji Mirni juga menyampaikan bahwa hasil pemantauan dan peninjauan DPD atas penata kelolaan sumber daya alam saat ini, ada yang perlu diperbaiki dalam kebijakan tata kelolanya karena terdapat pengaturan dalam undang-undang tersebut yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan sosiologis dan perkembangan dinamika global yang berkembang saat ini, ditambah lagi terbitnya Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, menimbulkan adanya ketidakharmonisan perundang-undangan.

“Ruang lingkup RUU Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam yang disusun DPD terdiri dari: Klasifikasi Sumber Daya Alam; Bentuk Pengelolaan Sumber Daya Alam; Pembagian Urusan Sumber Daya Alam; Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam; Pelindungan Sumber Daya Alam; Dana Abadi Sumber Daya Alam; dan Partisipasi Masyarakat; serta Penegakan Hukum dibidang Agararia dan Sumber Daya Alam,” tambahnya.

Aji Mirni juga menyebutkan bahwa penyusunan RUU Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam dilatari oleh kondisi ril kekayaan negara yang tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat.


“Sebagai Anggota DPD dari Kalimantan Timur, saya adalah saksi hidup bahwa kekayaan yang berlimpah di Kalimantan belum berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di kalimantan. Karena itu saya sangat senang ketika mendengar bahwa DPD akan menyusun RUU ini. Karena itu kami berharap, dari acara ini, masukan dari masyarakat Kalimantan Timur dapat memperkaya RUU yang sudah kami susun,” jelas Aji Mirni.

Adapun RUU Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam disusun oleh PPUU DPD RI yang merupakan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas penyusunan RUU layaknya Badan legislasi DPR. RUU ini merupakan RUU Inisitif yang disusun PPUU di tahun 2023. Uji sahih yang dilakukan di Universitas Mulawarman merupakan salah satu rangkaian kegiatan penyusunan RUU sebelum akhirnya nanti diadakan finalisasi. Uji sahih dilakukan untuk mendapat masukan masyarakat, Pemerintah Daerah, Kampus dan Stakeholder lainnya terkait Naskah Akademik dan RUU yang telah selesai disusun.

Acara Uji Sahih dibuka oleh dekan Universitas Mulawarman, Dr. Mahendra Putra Kurnia, S.H., M.H. Kegiatan juga dihadiri Anggota DPD lainnya yang berasal dari berbagai daerah seperti: Ajbar dari Sulawesi Barat, Abdi Sumaithi dari Banten, Denti Eka Widi Pratiwi dari Jawa Tengah, Lukky Semen dari Sulawesi Tengah, Filep Wamafma dari Papua Barat, dan Asni Hafid dari Kalimantan Utara. ( Juenda )