Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang bisa mengganggu pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024. Hal itu dilakukan agar hajat pemilu serentak tersebut bisa berjalan normal dan sesuai aturan yang ada.
“Kami akan membentuk satuan tugas (satgas) antipolitik uang.
Polri akan bekerja sama dengan semua pihak untuk mencegah terjadinya praktik politik uang dalam pemilu nanti,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sandi Nugroho, dalam Diskusi Media dan Aturan Pemberitaan Kampanye Pemilu yang digelar di Gedung Dewan Pers Jakarta, Rabu (9/8/2023).
Tugas satgas antipolitik uang itu, tutur Sandi, bukan untuk menangkapi mereka yang melakukan praktik penyuapan kepada calon pemilih.
Sebaliknya, petugas akan senantiasa mengingatkan para aktivis partai untuk tidak melakukan tindakan tercela berupa praktik politik uang.
“Terus terang, kami sama sekali tidak bangga saat menangkap para pelanggar ketentuan atau pelaku kejahatan.
Kami punya fungsi untuk menjalankan peran pre-emtif dan preventif atau tindakan pendahuluan dan pencegahan, selain koersif (tindakan hukum/tekanan),” ungkapnya.
Sedapat mungkin polisi akan melakukan pencegahan semua kegiatan yang bisa membuat
ketidaknyamanan dan gangguan kamtibmas. Pencegahan itu akan dilakukan sejak dini agar pelaksanaan pemilu berjalan aman, lancar, dan damai.
“Pencegahan kami lakukan di dunia nyata dan maya. Jauh hari sebelumnya, pencegahan telah kami lalukan, bukan hanya beberapa hari menjelang pemilu.
Faktor kemananan kalau tidak disiapkan sejak dini, tidak akan bisa aparat menjalankan tugas dengan baik,” papar Sandi.
Sementara itu Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu SH MS, ketika membuka diskusi mengutarakan, bahwa pers yang independen dan bertanggung jawab merupakan masalah paling krusial dan menjadi sorotan masyarakat.
Menurut dia, pers harus bisa menghadirkan informasi yang sehat, damai, akurat, dan bermanfaat.
Sampai kapan pun, tutur Ninik, fungsi pers sangat penting. Pers merupakan media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
“Di situlah peran pers dibutuhkan melalui berita-berita yang akurat dan benar.
Pemilu merupakan pesta rutin lima tahunan. Masyarakat tidak boleh gagap menghadapi pesta demokrasi rutin ini,” ungkapnya.
Ninik berharap, pers juga belajar dari hajatan rutin tersebut.
Jika ada kekeliruan atau kegagalan dari pemberitaan lima tahun sebelumnya, semestinya pers belajar dari pengalaman tersebut sehingga tidak lagi terjadi hal seperti itu.
Selain kedua pembicara tersebut, beberapa narasumber juga ikut menyemarakkan diskusi.
Mereka adalah Ketua Badan Pengawas Pemilu (Baswalu), Rahmat Bagja, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Aliyah, Kepala Bagian Hubungan Antarlembaga Komisi Pemilihan Umum, Dohardo Pakpahan, dan anggota Dewan Pers yang juga Ketua Komisi Hubungan Antarlemaga dan Hubungan Luar Negeri, Totok Suryanto. (Juenda)