Ketika bencana alam belum terjadi, teknologi informasi (TI) bisa memperingati lebih dini. Pasca bencana, TI bisa berperan untuk mempercepat penanggulangannya.
Sesaat setelah tsunami melanda, terjadi kepanikan luar biasa di 12 negara Asia yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Gempa bumi dahsyat yang terjadi di kedalaman lautan antara Sumatera dan Andaman pada 26 Desember 2004 itu telah menyebabkan sekitar 230.000 jiwa menjadi korban. Hampir 200.000 korban berasal dari Indonesia. Lebih dari lima juta orang kehilangan tempat tinggal, serta akses terhadap makanan dan air. Upaya tanggap bencana hingga proses pemulihan berlangsung di setiap negara yang terkena dampak bencana. Dampak kerusakan dan kerugian luar biasa yang terjadi tentu saja menyebabkan penanganan korban dan upaya pertolongan tidak bisa dengan mudah dilakukan.
Di Aceh, sekelompok anak muda bergegas membongkar muatan satu mobil SUV double cabin tetap penuh semangat meski baru menempuh perjalanan berat belasan jam. Suasana sekitar lokasi kejadian luluh lantak dan mencekam akibat sapuan gelombang tsunami dahsyat dua hari sebelumnya. Sedikit di kejauhan sejumlah survivor tampak memperhatikan.
Ada dua orang dengan kaos berlabel “Relawan TI” yang cekatan merakit tenda knockdown. Lainnya sibuk dengan gadget berfasilitas Global Position System (GPS) dan sebuah laptop di atas bak SUV melakukan pointing VSAT. Sekitar dua jam kemudian portable mast setinggi 15 meter telah tegak berdiri. Di atasnya terpasang tiga vertical antenna; untuk radio komunikasi all band, WiFi dan GSM. Di samping tenda terbentang modul solar panel kapasitas 1 KVA dan backup genset 5KVA sebagai andalan pasokan daya listrik.
Di dalam tenda, server rakitan barebone berbasis Linux dengan jeroan prosesor quadcore, 8 Gb RAM dan harddrive SSD 128 Gb yang hemat energi siap menjalankan sejumlah fungsi vital: aplikasi GNU Radio, Asterisk (SIP) dan Jabber (XMPP). Sekaligus sebagai router dan VPN IP yang akan terhubung via VSAT ke simpul terminasi dan interkoneksi operator GSM di National Internet Exchange di Jakarta. Tim Relawan TI ini tak sabar segera menyambungkan perangkat USRP dan mini amplifier ke sistem. Selang 30 menit, konfigurasi dan final check, call out GSM pertama dari ground zero dapat berlangsung.
Begitulah. Dengan bermodal kemampuan di bidang TI, tim relawan TI dari Yayasan Air Putih membantu menyebarluaskan kejadian bencana alam dan mempercepat datangnya bantuan.
Lembaga ini sebenarnya terbentuk secara tak sengaja. Pemicunya tak lain, gempa dan tsunami yang menghantam Aceh pada 26 Desember 2004. Seperti orang Indonesia pada umumnya, pendiri Air Putih merasa berduka mendengar kejadian itu. Mereka, yang terdiri dari tujuh orang: Ahmad Suwandi, Eduardo Rusfi D, Anjar Ari Nugroho, Jusron Faizal, Rahman Hidayat, Sugeng Wibowo dan Budi Santoso pun berusaha mencari jalan untuk membantu korban bencana. Karena status mereka masih mahasiswa, yang artinya tak memiliki cukup dana, maka yang terpikir adalah membantu menyebarluaskan informasi soal bencana tersebut.
Dua hari setelah gempa dan tsunami menghantam Aceh, Suwandi dan timnya langsung terbang dari Malang ke lokasi bencana. Di provinsi Serambi Mekah ini mereka mulai menjalankan misinya, antara lain dengan membangun infrastruktur informasi. Infrastruktur berupa pemasangan antena VSAT yang berfungsi menghubungkan internet dengan internet melalui satelit.
Tak hanya itu, tim Suwandi juga menyediakan acces point guna memungkinkan orang-orang di wilayah bencana terhubung dengan internet, juga telepon satelit cuma-cuma untuk relawan dan wartawan. Inilah yang kemudian membuat berita bencana tsunami Aceh mendunia dan akhirnya mendatangkan banyak bantuan. Juru warta, baik lokal maupun asing, dan relawan ramai-ramai menggunakan pusat informasi yang dibangun Air Putih untuk mengabarkan bencana terbesar yang pernah melanda Indonesia dalam satu dekade terakhir. Guna melancarkan misi ini Air Putih bekerjasama dengan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII).
Melihat usaha mereka tidak sia-sia, Suwandi dan timnya pun sepakat membentuk Yayasan Air Putih. “Air Putih mendorong masyarakat agar melek TI dan menjadikannya sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat yang kuat,” kata Suwandi belum lama ini seperti dikutip Prioritas.
Dia membeberkan, lembaganya bisa menyebarluaskan informasi dari daerah bencana karena menggunakan TI dan komunikasi berbasis open source software atau ‘kode sumber terbuka’. “Open source sebagai kunci pembuka akses yang murah dan mudah,” lanjut Suwandi sambil menyebutkan open source yang dikembangkan lembaganya bernama Orca. Selain di Aceh, Air Putih juga memperlihatkan dedikasi mereka dengan membuat bantuan serupa di Yogyakarta, Wasior, Mentawai, Bengkulu, dan sejumlah daerah lain. Dalam perkembangannya, organisasi ini tak hanya membantu menyebarkan informasi. Mereka juga membuat aplikasi peringatan dini gempa dan tsunami yang digarap bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Suwandi menjelaskan, Indonesia merupakan daerah rawan bencana karena letaknya di jalur The Pacific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik). Karena itu harus siap, sebab bencana bisa datang kapan saja. “Dalam situasi seperti ini diperlukan sistem koordinasi yang baik agar proses pertolongan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat. Guna mempercepat proses koordinasi, pendataan dan pelaporan perlu sarana telekomunikasi yang tepat,” tandasnya.
Belakangan untuk memperlancar misi, Air Putih meningkatkan kemampuan penggunaan TI bagi pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam penanganan bencana. Tim cepat tanggapnya siap berangkat ke lokasi bencana kapan saja.
Peran Open BTS
Pembina di Yayasan Air Putih, M. Salahuddien mengatakan, apa yang dialami tim relawan Air Putih tadi merupakan contoh ilustrasi bagaimana teknologi Open BTS, WiFi, VSAT dan radio komunikasi dapat menjadi sebuah solusi mini yang dinanti oleh mereka yang menunggu harapan tak pasti di lokasi sulit terjangkau infrastruktur normal. “Dalam kenyataannya, penggelaran sistem darurat ini bersama dengan sistem manajemen kebencanaan berbasis TI dan internet, dalam waktu secepatnya terbukti menurunkan tensi kepanikan di luar lokasi bencana serta meningkatkan efisiensi dan akurasi misi kemanusian. Ditambah bonus aliran informasi aktivis media sosial alternatif, relawan, jurnalis serta survivor membuka keterisoliran suatu daerah yang tertimpa bencana alam hebat,” ungkap Didin, sapaan Salahuddien.
Berbeda dengan gelaran teknologi internet yang membutuhkan perangkat akses tambahan rumit seperti laptop dan keterampilan menggunakannya, Open BTS melayani ponsel biasa yang seketika dapat memenuhi kebutuhan telekomunikasi dasar (voice, SMS). Orang awam sekalipun hanya perlu beberapa menit untuk menguasai teknologi ini. Apalagi penetrasi seluler telah merakyat. Komunikasi yang mudah dan murah.
“Namun demikian, Open BTS dapat ditingkatkan kapasitas dan fitur layanannya tak hanya telepon dan SMS tapi juga komunikasi data. Walau lebih praktis bila smartphone, gadget, tablet, laptop yang membutuhkan akses internet dapat terhubung ke WiFi HotSpot yang dalam ilustrasi di atas juga selalu disediakan,” papar Didin.
Berita baiknya, imbuh Didin, Open BTS bersifat modular. Bisa ditambahkan power dan antena ukuran besar agar dapat menjangkau wilayah lebih luas. Atau menambah unit USRP jika ingin melayani jumlah pengguna yang lebih banyak dan atau ingin bekerja pada spektrum frekuensi yang beragam. Model standar bekerja di 900 Mhz dengan standar 2G, namun tersedia juga model 1800, 1900 dan 2100 Mhz yang mendukung 3G. Tentu saja konsekuensinya perlu investasi lebih besar dan perangkat yang berat meski untuk skala non profit dan tujuan semi permanen solusi Open BTS tentu saja masih tetap sangat murah dibandingkan BTS normal.
Deteksi Gempa Berbasis Cloud
Bencana alam, seperti gempa terjadi tanpa terduga dan tak pernah bisa ditolak. Namun bencana alam tersebut dapat diantisipasi jika dapat diprediksi sebelumnya. Sebagai negara yang sering diguncang gempa dan banjir, Indonesia dipandang perlu untuk memiliki alat pendeteksi bencana alam.
Pada kasus lain, pendeteksi bencana alam memang tetap tak akan bisa menunjukkan kapan bencana tersebut akan betul-betul terjadi. Namun, gejala-gejala yang terdeteksi bisa membuat manusia bisa lebih waspada dan bersiap ketika bencana alam akhirnya terjadi. Hal inilah yang melatarbelakangi mahasiswa Kelompok Keahlian Teknologi Informasi STEI ITB membuat sistem monitoring keadaan lingkungan dan deteksi dini bencana alam menggunakan komputasi awan (cloud computing).
Prototipe sistem ini diperkenalkan di acara International Conference on Cloud Computing and Social Networking 26-27 April 2012 di Hotel Preanger Bandung, yang merupakan bagian dari e-Indonesia Initiative (eII) Forum kedelapan.
“Selama ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mungkin telah memiliki sistem pendeteksi bencana alam yang serupa. Alat-alat yang digunakan pun tidak jauh berbeda, namun, di sini kami menawarkan sistem baru, yakni memanfaatkan komputasi awan,” ungkap Sinung Sukanto, salah satu tim yang membangun sistem ini seperti dikutip Kompas.com, (29/4).
Sistem monitoring keadaan lingkungan dan deteksi dini bencana memiliki tiga peralatan utama, antara lain sensor yang berfungsi mendeteksi kondisi udara seperti kandungan CO2, LPG, Carbon Monoxide, dan menjadi pengontrol kualitas udara. Selain itu, sensor ini juga bisa digunakan untuk mendeteksi kualitas air seperti kadar pH, oksigen, hingga menentukan tinggi-rendahnya gelombang air. Kedua, Remote Terminal Unit (RTU) yang akan menyimpan data analog maupun digital yang tertangkap oleh sensor dan diteruskan ke server komputasi Awan. Alat ini akan selalu berdampingan dengan alat sensor dan bertugas meneruskan informasi sampai ke server. Ketiga yakni server komputasi Awan dimana data yang dikirim oleh RTU akan disimpan di server komputasi Awan.
“Selama ini, sistem pendeteksi bencana belum mengadopsi komputasi awan sehingga masing-masing wilayah harus memiliki server sendiri. Setelah adopsi komputasi Awan, maka server yang diperlukan hanya berpusat di satu tempat, meski alat sensor dan RTU berada di seluruh wilayah Indonesia,” jelas Sinung.
Sistem yang dibangun oleh tim yang terdiri atas tiga orang ini dibimbing oleh Suhono H. Supangkat (Ketua Forum EII) dan Suhardi. Sedangkan anggota tim terdiri dari Sinung Sukanto (mengurusi aplikasi), Tunggul Arief Nugoroho (mengurusi hardware), dan I Gusti Bagus Baskara Nugraha (mengurusi jaringan). Studi tentang sistem ini masih akan dikembangkan, namun prototipe yang ada, sudah mulai diperkenalkan ke berbagai pihak yang terkait penanggulangan bencana.
Untuk konteks Indonesia, yang baru saja memiliki undang-undang Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana, penerapan sistem berbasis open source tentu saja akan mendukung upaya untuk mengubah paradigma penanganan bencana yang selama ini masih bersifat reaktif dan responsif menjadi suatu kegiatan yang lebih bersifat preventif.
TI Siaga Bencana
Dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana, penggunaan TI memang menjadi sangat penting. Kemampuan TI dalam rangka menyimpan dan mengelola data dan informasi bencana menjadi suatu kebutuhan dan memperoleh perhatian secara khusus. Kemampuan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan dokumentasi dan inventarisasi sumberdaya maupun informasi kejadian bencana yang dituntut untuk selalu siaga. Manfaat lain adalah untuk menggambarkan kondisi wilayah setempat, sehingga diketahui kesiapan dan keperluan serta support kebutuhan dalam penanggulangan bencana. Oleh sebab itu dalam keadaan darurat, hal-hal yang bersifat data harus sudah tersedia dan dapat dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah merintis dan melakukan kegiatan inventarisasi data dan informasi kebencanaan seluruh Indonesia. Namun data tersebut sudah semestinya untuk dapat dikelola dan dalam rangka pemutakhiran data sehingga pada tahun ini BNPB dengan dukungan UNDP melakukan penguatan kelembagaan BPBD provinsi terutama untuk fasilitasi penyusunan Data dan Informasi Bencana (DIBI) nasional ke dalam konteks lokal (provinsi).
Penyusunan DIBI bertujuan untuk mengembangkan sistem informasi yang dibutuhkan untuk melacak kerugian jiwa, materi, sarana dan prasarana akibat berbagai jenis bencana. Informasi yang diperoleh kemudian dapat diakses di seluruh Indonesia, bahkan dunia melalui internet. Untuk mewujudkan sistem tersebut dibutuhkan data yang lengkap mengenai jumlah penduduk di suatu daerah, jumlah rumah, data sarana-prasarana dan data kawasan yang ada di daerah tersebut. Data tersebut nantinya akan dicocokkan dengan data setelah terjadinya bencana, bahkan dapat ditampilkan secara geografis untuk memperlihatkan informasi sebelum dan sesudah terjadi bencana. Dari sini dapat diketahui secara detail jumlah kerugian jiwa, materi dan sarana-prasarana di daerah yang terjadi bencana dari suatu wilayah.
Dalam hal ini TI memang menjadi wadah yang dapat membantu dalam berbagai masalah. Bencana alam merupakan masalah yang cukup rumit jika di tangani dengan cara manual. Prosedur penanganan bencana saat ini banyak yang tidak efektif atau bahkan salah sasaran semua itu disebabkan informasi yang terlambat masuk terlebih tidak akurat. Dengan adanya TI saat ini, sangat membantu dalam proses pengambilan keputusan pada saat bencana akan terjadi.
Meski TI memang tidak dapat mencegah terjadinya bencana secara keseluruhan, tapi dengan adanya TI, kita dapat meminimalkan segala bentuk kerugian, korban jiwa, dan memberikan tindakan-tindakan yang efektif dan efisien, bahkan dapat meminimalkan dampak dari bencana tersebut.
Manajemen TI Bencana
- Deteksi dini atau yang dikenal dengan early warning system. Manusia tidak dapat mendeteksi kapan terjadinya bencana, dengan adanya peringatan-peringatan dini manusia dapat menghindar atau menjauh dari sumber bencana untuk bisa menyelamatkan diri.
- Pemetaan. Gejala alam bisa juga diketahui dari tren yang berlangsung. Pola yang terjadi dalam rentang sekian tahun. TI bisa membantu memetakan hal tersebut.
- Koordinasi. Ketika bencana telah terjadi peran TI sangat vital dalam hal koordinasi.
Sistem Peringatan Dini
Sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana sangat penting, mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam. Dengan ini diharapkan mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem peringatan dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan, sistem peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun instrumentasinya. Tujuan akhir dari peringatan dini ini adalah masyarakat dapat tinggal dan beraktivitas dengan aman pada suatu daerah serta tertatanya suatu kawasan. TI amat dibutuhkan menginat pentingnya penanganan bencana yang sangat cepat. Di Indonesia sendiri, Sistem Peringatan Dini Tsunami teah dirancang dan dibangun melalui jaringan VPN Polri dan media SMS pada tahun 2006, untuk mendapatkan informasi peringatan dini dari Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) yang kemudian didistribusikan ke area yang diprediksikan akan kena bencana alam ini untuk mencegah jatuhnya banyak korban.
Pusat Informasi Bencana ASEAN
Indonesia dipercaya oleh 10 negara ASEAN untuk menjadi negara pusat informasi bencana. Hal ini desepakati dengan dibentuknya ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistane (AHA Centre) oleh 10 negara ASEAN, sejak 10 November 2011.
“AHA Centre dibentuk dengan tujuan untuk mengantisipasi bahaya bencana di setiap wilayah di negara-negara ASEAN. Hal Ini terkait dengan regional respon untuk mengkoordinasi kegiatan penanganan bencana,” kata Executive Director AHA Centre, Said Faisal, (3/5).
Said berharap, dengan adanya AHA Centre ini, dapat membantu menyalurkan sebanyak mungkin informasi tentang bencana ke berbagai wilayah di negara-negara ASEAN. “Tentunya kami tidak bekerja sendirian. Kami bekerja sama dengan lembaga-lembaga penanganan bencana di berbagai wilayah di negara-negara ASEAN tersebut,” ujar Said.
Said mengatakan, sejak awal berdirinya, AHA Centre banyak mendapat dukungan dari negara-negara besar terutama Jepang. “Mereka sangat mendukung kita dan pendonor utama dalam bidang Information and Communications Technology (ICT),” ujar Said.
Said berharap, ke depannya makin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat agar mereka bisa lebih siap bila terjadi bencana. “Sekarang kita lakukan monitoring tentang bencana-bencana di negara ASEAN dan memberikan informasi kembali ke negara-negara tersebut,” kata dia.
Karena itu, untuk mengetahui status terkini dari sistem informasi dan teknologi yang dimiliki National Disaster Management Organitation (NDMO), AHA Centre menyelenggarakan lokakarya “ICT User Workshop” di Jakarta pada 22-24 Mei 2012 dan diikuti oleh NDMO masing-masing negara ASEAN, AHA Centre, Sekretariat ASEAN, pemerintah Jepang dan perwakilan dari Amerika Serikat.
Lokakarya ini juga untuk mengetahui kesenjangan dan mencari solusi guna peningkatan hubungan di antara NDMO. Selain itu, lokakarya juga dimaksudkan untuk memberikan pemahaman apa saja perangkat TI yang sudah terpasang di AHA Centre. Dalam lokakarya juga diperkenalkan Disaster Monitoring and Response System (DRMS) yang akan dipasang di AHA Centre. DRMS ini akan diimplementasikan oleh ASEAN-US Technical Assistance and Training Facility (USTATF) yang menggandeng mitra dari Pasific Disaster Center (PDC).
Di Sekretariat AHA Centre, peserta bisa melihat apa saja peralatan yang sudah terpasang. Sekretariat AHA Centre saat ini adalah bantuan dari pemerintah Indonesia yang menempati Gedung BPPT I Lantai 17. Di dalam sekretariat telah terpasang berbagai peralatan TI sebagai hasil kegiatan ICT tahap I. Dalam ICT tahap I, berisi pembangungan dan peningkatan kapasitas TI di AHA Centre yang didanai oleh Japan-ASEAN Integrated Fund (JAIF). Selain perangkat keras TI yang ada di AHA Centre, peserta juga ditunjukkan beberapa perangkat lunak yang akan mendukung tugas AHA-Centre dalam menjalin koordinasi di antara-negara anggota ASEAN, yaitu DRMS dan WebEOC.
Setelah kunjungan ke AHA Centre, lokakarya berlanjut dengan paparan dan demonstrasi mengenai DRMS yang disampaikan oleh Ray Shirkodai dan Chris Chiesa dari PDC. DRMS adalah sebuah aplikasi untuk pantauan bencana yang dikembangkan oleh PDC dan dapat digunakan oleh NDMO.
Saat ini begitu banyak sumber informasi yang bisa diakses oleh pengguna. Di antara begitu beragamnya sumber informasi tersebut, diperlukan sebuah sistem yang dapat menggabungkan dan memberi kemudahan kepada pengguna. DRMS akan menyediakan informasi terkini dari berbagai sumber selama 24 jam 7 hari. Di sisi lain, DRMS juga dilengkapi dengan pemodelan, misalnya untuk bencana angin topan. DRMS sendiri adalah sistem yang berbasis web, bekerja berdasarkan sistem informasi geografis dan keanggotaan. DRMS diperlukan karena sistem ini bisa menjawab sebuah pertanyaan sederhana: “Bagaimana menampilkan informasi yang beragam dalam satu sistem berbasis web yang mudah digunakan?”
Sistem TI lain yang diperkenalkan adalah WebEOC. merupakan sebuah sistem yang dapat membantu AHA Centre untuk melakukan koordinasi di antara negara-negara anggota ASEAN. Administrator WebEOC Texas, Eric Ehley memaparkan, di Texas sendiri WebEOC sudah digunakan 10 tahun untuk membantu tugas-tugas kedaruratan. “WebEOC membantu menginformasikan kejadian bencana, update informasi bencana, pengorganisasian personil, transportasi, kondisi logistik sampai dengan permintaan bantuan penanganan bencana,” ungkap Eric di tengah forum. Menurutnya, WebEOC terbukti mampu memudahkan pekerjaan institusi penanggulangan bencana di Texas.
Informasi mengenai WebEOC ini kemudian dilanjutkan dengan simulasi dan demonstrasi penggunaannya. WebEOC di AHA-Centre digunakan sebagai aplikasi untuk menerjemahkan Standard Operating Procedure for Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations (SASOP). WebEOC digunakan untuk mengisi berbagai formulir yang ada di dalam SASOP mulai dari saat terjadi bencana sampai dengan permintaan bantuan dari negara terdampak dan formulir pelaporan.
Hindari Korban Dengan TI
TI menyediakan berbagai perangkat dan piranti lunak yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penanggulangan bencana. Perkembangan jaringan komunikasi, pengembangan aplikasi online, ketersediaan data spasial, perangkat penginderaan jarak jauh serta pemindai aktivasi gejala alam dapat disinergikan menjadi sebuah Sistem Informasi Penanggulangan Bencana yang akan sangat membantu kegiatan penanggulangan bencana Sebuah sistem kesiagaan dan penanganan bencana yang benar yakni jika tersedia informasi yang cepat dan akurat, dan atas informasi itu sistem kedaruratan bekerja. Aspek kecepatan dan keakuratan informasi akan sangat membantu dalam proses pemulihan daerah dari satu bencana.
Aspek penting lain namun sering terabaikan dalam sistem penanggulangan bencana adalah sistem peringatan dini yang menjadi garda terdepan dari sebuah kegiatan penanggulangan bencana. Sistem peringatan dini semestinya mendapat perhatian serius agar bisa beroperasi dengan sempurna dikarenakan pada sistem ini bergantung tidak hanya keselamatan materi, tapi juga nyawa manusia.
Dalam hal ini, setidaknya TI bisa meminimalisir dampak dari bencana alam yang kerap menghantui Indonesia.