PADA AWAL  tahun 2012, publik Indonesia  dihebohkan dengan  oleh produksi mobil nasional (mobnas) yakni Kiat Esemka. Seluruh media massa baik cetak maupun elektronik menjadikan berita tersebut sebagai Headline pada setiap pemberitaannya. “Kita merdeka sudah 66 tahun, masa membuat mobil saja tidak bisa? Ini saatnya Indonesia unjuk gigi dan kita harus mendukung penuh pembuatan mobil nasional,” ujar Joko Widodo, Walikota Solo, saat itu.

Jokowi pula penggerak pertama pembelian mobil karya SMK di kalangan aparat pemerintahan. Langkah tersebut mengingatkan kita akan kurangnya pemimpin yang bangga dengan produksi dalam negeri yang salah satu indikator penilaian nasionalisme seseorang menurut Mahatma Gandhi.

Saat baru saja merdeka di mana nasionalisme menggebu-gebu, pemerintah dengan gencar menyuarakan anti kolonialisme dan imperialisme. Langkah yang dilakukan pemerintah saat itu sangat berani dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia. Tindakan itu sangat jelas bahwa pemerintah ingin kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia untuk kepentingan masyarakat.

Karena saat itu Indonesia sebagai negara yang baru merdeka memerlukan sarana infrastruktur pendukung untuk kelancaran akses ekonomi. PT Caltex ingin “membantu” pemerintah dengan membuatkan jalan raya di Pulau Sumatera. Namun sebagai gantinya Caltex diizinkan melakukan pengeboran minyak di Pulau Kalimantan. Lagi-lagi usaha tersebut ditolak oleh Presiden Sukarno. Bukan hal aneh karena saat itu menerapkan sistem ekonomi yang disebut Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri.

Pada tahun 1980-an, Indonesia ingin memproduksi mobil sendiri melalui putra Presiden Suharto yakni Tommy Soeharto dengan nama Timor nasional. Namun hal itu justru mendapat ancaman dari investor dan akhirnya  terhenti. Di periode tahun yang sama, Malaysia membuat langkah yang serupa dengan merk mobil Proton. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia mendukung hal tersebut dan memberikan kemudahan pembelian/kredit mobil tersebut bagi rakyatnya.

Hal yang sama dengan Malaysia tadi terjadi pula di Korea Selatan dengan etos kerja yang tinggi dan semangat nasionalis berslogan: Saingi Jepang. Peran pemerintah Korea Selatan yakni membatasi  jumlah mobil yang masuk ke negaranya sebagai upaya menjadikan mobil KIA sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Lalu bagaimana dengan nasib mobil Kiat Esemka Indonesia? Negara yang mementingkan gengsi merk luar negeri dibanding kualitas ini masih harus mendapat banyak tantangan terutama pendanaan.  Sebagai contoh adalah gerbong kereta bekas dari Jepang oleh pemerintah padahal produksi kereta api PT INKA diboyong oleh Iran dan Qatar.

Menurut Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Ichsanuddin Noorsy, lebih baik mobil Esemka dikembangkan oleh pihak swasta dengan mengumpulkan konglomerat Indonesia untuk mendukung produksi mobnas. Peran pemerintah bisa lebih ditekankan pada contoh yang di Malaysia dan Korea tadi. Konsep Swadesi terlihat dapat memajukan taraf kehidupan negara.

Kondisi industri otomotif kita seperti tadi, sama juga terjadi pada industri teknologi informasi, yang akan dipaparkan lebih jelas pada Headline BISKOM edisi Oktober ini. Kami kembali menyajikan wacana teknologi informasi dari persepekstif nasionalisme. Gerakan Indonesianisme Industri TI kita gaungkan agar semangat untuk tetap berdaulat, mandiri, berkarya dan berkontribusi untuk bangsa ini makin tertanam, tumbuh dan berkembang. Jika pun kita ingin memilih produk dari luar, namun setidaknya produk tersebut juga memberikan kontribusi ekonominya terhadap negara kita. •

Salam,

REDAKSI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.