BISKOM, Jakarta – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah tafsir soal syarat usia calon kepala daerah sedang hangat diperbincangkan. MA memutus bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota atau Wakil Walikota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.” Terlebih Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 tersebut dikaitkan dengan rencana pencalonan seseorang sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur. Penulis tidak akan masuk ke dalam dampak politik dari lahirnya Putusan MA tersebut, namun Penulis hendak memberikan pandangan terkait proses uji materi dan pertimbangan hakim dalam memutus hak uji materiil tersebut.

Permohonan Hak Uji Materiil Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 diajukan oleh Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) pada 22 April 2024. Pemohon menilai Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 karena menambahkan syarat berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon. Padahal, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 hanya memuat syarat berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun.

Dalam pertimbangannya, MA berpendapat bahwa penerapan open legal policy oleh KPU dalam memberi makna dan tafsir yang berbeda satu dengan lainnya, dan tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi perubahan makna dan tafsir terhadap hal tersebut di masa mendatang.  MA mengambil contoh perihal penggantian pasangan calon kepala daerah oleh partai politik dalam hal ada salah satu pasangan calon meninggal dunia. Pertanyaan hukum yang timbul adalah, apakah terhadap calon pengganti itu harus diterbitkan kembali penetapan pasangan calon atau tidak, dan apakah penghitungan terpenuhinya usia bagi calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon pertama kali, atau dihitung kembali sesuai penetapan pasangan calon pengganti? Keadaan ini menggambarkan potensi terjadinya ketidakpastian hukum apabila penghitungan terpenuhinya usia calon kepala daerah dihitung pada tahapan penetapan pasangan calon.

Menariknya, terdapat dissenting opinion dalam Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024. Hakim Dr. Cerah Bangun berpendapat frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon” pada peraturan a quo, justru diperlukan untuk melaksanakan dan/atau menyelenggarakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, sehingga semakin jelas pokok pikiran, tujuan, dan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Frasa tersebut tidak bertentangan dengan prinsip “perlakuan yang sama di hadapan hukum”, prinsip “kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, dan prinsip “jaminan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif”.

Hal lain yang menjadi sorotan publik adalah kilatnya proses uji materiil ini. Dari website informasi perkara MA diketahui, permohonan di distribusikan pada 27 Mei 2024 dan diputus pada 29 Mei 2024. Meski Juru Bicara MA, Suharto menyampaikan bahwa hal ini sesuai karena asas pengadilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan, tetapi hal ini berbanding terbalik dengan penanganan perkara lain di MA yang membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan kepastian hukum.

Penulis berpendapat Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 menunjukkan adanya ketidakcermatan dan kekeliruan hakim dalam memutus uji materiil Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Jika dicermati Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini tidak dapat dipisahkan dari Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Sehingga sejatinya persyaratan yang ada pada Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yakni mencalonkan diri dan dicalonkan. Jika tafsir MA berubah menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih”, maka justru hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi multitafsir.

Frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon” dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 merupakan penjabaran dari Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang secara eksplisit mengatur setiap warga negara yang hendak mencalonkan diri dan dicalonkan. Jika seorang warga negara belum berusia 30 (tiga puluh) tahun pada saat dicalonkan, maka seharusnya warga negara tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Namun MA memberikan tafsiran lain, yang justru tidak sejalan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Penulis menilai, putusan ini seharusnya tidak diterapkan pada Pilkada 2024. Sebab, tahapan Pilkada 2024 telah dimulai sebelum terbitnya Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024. Hal ini bertujuan untuk menghindari opini negatif masyarakat yang berpendapat, putusan ini muncul untuk memfasilitasi dan memuluskan langkah seseorang saja dalam kontestasi Pilkada 2024.

Penulis: Vincent Suriadinata, SH., MH. (Managing Partner Mustika Raja Law Office)