PENGEMBANGAN Digital Enterprenuer (Digiprenerur) di Indonesia makin terbuka. Bukan hanya pasar yang potensial, Indonesia juga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk tumbuh dan bersaing.
Digipreneur tumbuh bersama teknologi informasi (TI). Tercatat terdapat 297 juta pengguna telepon seluar dan 74,6 juta pengguna internet di Indonesia. Selain itu Indonesia juga menempati peringkat empat dunia pengguna social network. Sementara pembaca komik manga di Indonesia mencapai 1,5 juta per bulan. Belanja voucher game online per bulannya mencapai 60 miliar per bulan.
“Ini semua menunjukkan pasar. Bahwa pasar di Indonesia ada,” ujar Hari Sungkari, Sekjen Masyarakat Industri Kreatif Teknologi (MKTI) dalam Dialog Interaktif ‘Digipreneur Indonesia’, di Jakarta (30/4).
Untuk SDM, dari sekitar 240 juta penduduk di Indonesia, lebih dari 60 persen penduduknya di bawah 39 tahun. Usia ini merupakan potensi SDM yang dinamis dan produktif. Namun Hari menyayangkan, dengan potensi itu, sebagian besar pelaku kreatif di Indonesia saat ini masih sebagai perajin. Mereka tidak berfikir atau berorientasi menjadi industri. “Misi kami kemudian menjadikan pelaku kreatif jadi pelaku industri. Angkat programmer jadi pengusaha aplikasi, atau animator jadi produser film,” kata Hari.
Untuk mencapai itu semua, satu hal yang paling mendasar tentunya pendidikan. “Ini tentu selaras dengan pendidikan, kemudian harus ada regulasi yang sifatnya bukan hanya punishment, tapi reward. Ini pasti akan meningkatkan motivasi para pelaku kreatif Indonesia, terutama di bidang digital,” kata Hari lagi.
Di kesempatan yang sama, Lolly Amalia Abdullah, Direktur Kerjasama dan Fasilitasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengatakan, pihaknya telah melakukan berbagai hal dalam meningkatkan kemandirian pada Digipreneur. Diantaranya adalah Lisensi Teknologi, di mana pihaknya memberikan informasi kepada komunitas digital atau TI akan pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI). “Kami juga membantu mereka dalam fasilitasi pendaftaran HKI,” kata Lolly.
Selain itu, pihaknya juga membangun Sentra Inovasi dan Inkubator Bisnis, di mana di dalamnya terdapat repositori inovasi, prototipe, pasca inkubasi dan inkubasi ketat. “Di sini kita memberi bimbingan teknis juga mentoring,” kata dia.
Dalam programnya, Kemenparekraf khususnya Direktorat Kerjasama dan Fasilitasi telah membangun Pusat Kreatif Digital yang terletak di Bandung guna mengumpulkan serta melatih dan memfasilitasi para Digipreneur sampai mereka dapat memasarkan game, animasi dan lain sebagainya yang telah mereka hasilkan.
Pusat Kreatif atau Inkubator Digipreneur juga akan dibangun pula di wilayah Depok, karena berdekatan dengan banyak Universitas atau kampus yang mempunyai jurusan TI sehingga akan berpotensi banyak peminat Digipreneur yang berkunjung ke Pusat Kreatif Digital di Depok. Bahkan di daerah Margonda Depok sendiri terdapat 250 komunitas TI yang memberikan masukan serta dukungan akan dibangunnya Pusat Kreatif Digital di Depok.
Usaha ini dilakukan agar devisa industri internet Indonesia tidak banyak tergelontorkan ke negara asing. “Total nilai industri internet yang disumbang Indonesia berdasarkan data klikindonesia 2012 mencapai US$ 160,27 miliar per tahun dan ini sebagian besar ‘lari’ ke luar negeri,” kata Lolly.
Angka itu termasuk di dalamnya akses bisnis US$ 12,5 juta perbulan, bisnis iklan US$ 10 juta perbulan, dan pasar kapitalisasi konten 100 miliar pageview yang masing-masing US$ 0,15, serta US$ 15 miliar. Menurut Lolly, Indonesia menghadapi tantangan pengembangan konten lokal yang mengadopsi kearifan lokal.
Menurut dia untuk menekan larinya devisa ke luar negeri, diperlukan juga konten unik dan berdaya saing tinggi. •